Rupa-rupa Wajah dan Mental Manusia ala Squid Game

squid game

OLEH IVY SUDJANA

Tanggal cantik ketika banyak yang mengisi keranjang belanja tanpa check out kemarin diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Tahun ini menjadi penting karena tema yang diangkat adalah kesehatan mental yang setara. Sebuah target yang cukup menantang ketika mental setiap kita sudah terpental sejak pandemi covid-19 merebak.

Bayangkan bagaimana orang yang senang bersosialisasi selama nyaris dua tahun dipaksa untuk berinteraksi hanya dengan orang serumah saja. Teman yang introvert makin ‘nyaman’ dalam ‘cangkang’ atau ‘gelembung’ yang dibuat sendiri. Anggota keluarga yang mengalami KDRT makin terpuruk, apalagi ditambah keadaan perekonomian yang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Kawan yang terinfeksi positif juga tak mudah kembali ke kondisi kesehatan yang prima.

Lalu, muncullah tayangan Squid Game di Netflik yang dalam beberapa minggu saja sudah mendunia. Entah berapa banyak meme, tiktok, reel maupun ulasan serta postingan tentang series ini.

Apakah lalu mental kita menjadi makin terguncang, makin terhibur atau mendapat kesadaran baru tentang diri kita sebagai manusia?

Tak perlu khawatir saya akan memberikan spoiler tentang film ini yang saya nikmati hampir semingguan. Sengaja tidak ditonton secara marathon karena saya ingin mendalami masing-masing karakter dan deep meaning di balik adegan.

Para tahanan berdasar nomor dalam Squid Game

Sebagai disclaimer : series ini bukan tayangan untuk relaksasi atau ditonton dengan anak di bawah umur karena setiap saat kita dihadapkan berbagai tindak kekerasan. Namun, setelah tuntas menonton sembilan episode saya justru mendapati rupa-rupa wajah manusia dan karakternya yang membuat terkesiap dan spontan berkata, ‘yah, itu mah kayak gue. Atau eh kok dia kayak si itu.’

Berikut sembilan hal tentang rupa-rupa wajah manusia dari film ini yang saya amati dari interaksi dan tindakan para pemain. Gi Hun, Sang Woo, Sae Byok, Il Nam, Ali Abdul, Deok Su, Ji Yeong, Min Yeo, Joon Ho dan masih banyak lagi.

1. Risiko Pasrah Dan Tunduk Aturan

Ketika manusia terdesak, pilihannya adalah mengambil risiko atau pasrah menerima keadaan. Tindakan yang dilakukan bisa merupakan sikap impulsif karena terdesak. Semua memiliki konsekuensi. Tak jarang setelah itu orang merasa menyesal telah melakukan hal-hal yang tak seharusnya mereka lakukan.

Judi yang sering dijadikan jalan keluar instan penyelesaian masalah memberi gambaran bahwa kecepatan mendapatkan hasil masih menjadi pilihan utama setiap orang. Tak terkecuali ke-456 partisipan ketika mengambil risiko ikut dalam game ini, meski tak tahu apa yang akan mereka hadapi.

Beberapa partisipan memiliki pikiran yang sama, daripada terus menerus dikejar debt collector. Atau daripada terus menganggur atau terlalu malu untuk mengakui kepada keluarga tentang masalah pelik yang dihadapinya.

Dalam episode ini juga, semua orang dianggap dewasa untuk memilih. Bahkan ketika dalam permainan pun, aturan yang sudah ditetapkan pun bisa disiasati. Menarik melihat situasi terdesak membuat orang berpikir dan bertindak cepat dan tepat.

Pemain inti aktris Squid Game
  • Hell dalam dunia nyata

Dalam aliran Agama Buddha yang saya anut, surga dan neraka digambarkan sebagai kondisi bahagia dan menderita dalam dunia nyata.

Melihat episode dua seperti melihat neraka dalam bentuk senyata-nyatanya. Semua luka, kepedihan, penderitaan ditampilkan secara gamblang tanpa polesan.

Malu mengetahui harga dirimu hilang di hadapan anak perempuan dan suami baru istrimu. Terkesiap mendapati dirimu dicari polisi padahal sangat dibanggakan Ibu dan kerabatnya. Tak mampu berbuat apa-apa ketika nyawa anak istrimu adalah taruhan tindakanmu untuk memperoleh hak. Terlalu pedih memahami tak ada janji lagi yang bisa kau sematkan kepada adik kecilmu tentang rumah dan bersama Ibu tercinta.

Tak perlu menunggu nyawa kita tiada dahulu untuk merasakan neraka. Terperangkap dalam jalan buntu ketika pilihan hanya hidup dan mati adalah kondisi bak neraka sebenar-benarnya.

Karenanya ketakutan ketika memilih mundur dari arena permainan pada episode satu, bergeser menjadi ketakutan menghadapi kenyataan yang ditunjukkan oleh hidup, sehingga akhirnya banyak partisipan kembali ke area permainan lagi.

  • Kreativitas itu kita yang ciptakan sendiri

Kata ahli, seseorang baru menjadi kreatif ketika terdesak. Menyusup maupun menyusupkan barang ke dalam arena permainan perlu kreativitas. Pada permainan permen gulali ini juga membuktikannya. Entah dengan berbuat curang atau mengakali dengan strategi yang tiba-tiba kamu temukan sendiri. Kreativitas memerlukan seseorang berpikir out of the box. Tidak mengikuti alur yang diberikan dan tidak melulu meniru orang lain, baru kau bisa bertahan.

  • Trust issue

Dalam menjaga kesehatan mental diri sendiri, kadang kita menguji orang yang berinteraksi dengan kita. Apakah ia dapat dipercaya sebagai sekutu yang benar, atau setiap orang adalah musuh dengan kita sebagai predatornya; atau lebih baik kita bersekutu dengan orang yang punya jabatan seperti para penjaga. Interaksi para pemain pada episode empat ini menunjukkan masalah trust issue yang jelas, salah satunya tentang saling bertukar nama.

Salah satu quote actor utama Gi Hun ketika mengomentari Sae Byok mendeskripsikan hal tersebut, “You don’t trust people because they’re trustworthy. It’s because you have nothing else to lean on.”

  • Kemunafikan

Kita melihat realita masa sekarang dalam episode lima.

Ketika kita terluka dengan banyak kejadian dalam hidup, sungguh sulit bisa memercayai agama atau kepercayaan apapun itu. Luka masa lalu Ji Yeong menunjukkan kemuakan dia akan ketaatan seseorang yang tampak beragama dan merasa berdosa telah menyebabkan orang lain meninggal, akan tetapi berharap mendapat hadiah uang juga untuk membayar hutang-hutangnya. Ji Yeong merasa itulah kemunafikan. Terlihat bijak di satu sisi, tetapi bobrok di sisi lain.

Empat pemain inti Swquid Game : Lee Jung Jae, Park Hae Soo, Jung Ho Jeon dan We Ha Joon

Episode ini makin intens dengan adegan pengkhianatan yang jelas, antar penjaga, penjaga dan peserta serta antar peserta itu sendiri. Tak ada sosok utama untuk dibela atau dipegang erat, seperti Tuhan misalnya. Semua berpikir untuk keselamatan diri sendiri dan dengan itu mereka perlu percaya siapa orang di dekatnya yang bisa dipercaya.

  • Teman?

Pada episode lima, kita mengira Ji Yeong memiliki kesehatan mental yang sudah terdestruksi dengan pengalaman buruk dalam keluarga. Pemikiran suicidal thought bahkan tergambar dengan tersirat, bahwa tak ada lagi yang menunggunya seperti Sae Byok yang ditunggu adik lelaki dan Ibunya.

Dalam episode ini terungkap bahwa sedemikian terluka Ji Yeong, ia adalah teman yang baik.

Saya tidak mau spoiler lebih lanjut, tetapi nikmatilah bagaimana sejatinya pertemanan itu di dunia yang brutal dan tak ramah lagi ini.  Penghianatan, pengorbanan, persaingan penuh kecurangan termasuk bagaimana pertemanan yang tulus. Adegan dua orang per dua orang yang tergambar memberi kesimpulan kepada kita. Bahwa kata teman itu baru bisa disematkan bila perasaan keduanya adalah MUTUAL. Bila tidak, satu pihak akan terluka, dimanfaatkan, dikhianati, atau dikorbankan.

  • Upaya melawan dan mengantisipasi takdir

Kamu adalah takdirmu sendiri, bukan dibuatkan atau ditentukan

Catatan penting dari episode ini adalah bagaimana seseorang hendak mengakhiri hidup dengan mewujudkan apa yang belum bisa ia wujudkan semisal mengambil tantangan, atau memenuhi janji dengan seseorang untuk sehidup semati.

Pada beberapa adegan permainan, semua hal yang saya bahas sebelumnya terpapar nyata. Trust issue, keberanian mengambil risiko termasuk menghalalkan segala cara, ketaatan beragama maupun penghianatan digambarkan dengan sangat baik.

Termasuk bagaimana sikap kelakuan para VIP yang menikmati permainan berdarah dari orang-orang tak punya. Untuk hal ini, sebuah penelitian di Amerika pernah mengungkapkan kesukaan menonton adegan kekerasan terkait dengan pengalaman si penonton menghadapi kekerasan di waktu yang lalu, serta rata-rata penonton usia dewasa ini memiliki tingkat kesulitan hidup yang tinggi dan ketakutan yang lebih besar terhadap hal negatif yang akan terjadi di masa depan.

  • Terdepan’, ‘Terhebat’, ‘Terpercaya’

Pada episode delapan, sifat asli Sang Woo terungkap. Sebagai lulusan Seoul National University yang prestisius, orang-orang memandang tinggi kepadanya yang terlahir di sebuah lorong pasar dan rumah petak yang identik dengan kehidupan yang sulit. Ibu Sang Woo yang memanjakan dan mengidolakannya termasuk para pembeli yang memberi komentar akan keberhasilan Sang Woo adalah KITA yang seringkali melihat hasil tanpa mengetahui berdarah-darahnya seseorang melalui proses tersebut.

Berada dalam tekanan kesuksesan dan pembuktian diri, menjadikan banyak netizen menyebut Sang Woo adalah penjahat yang sebenar-benarnya dalam film ini.

Lee Jung Jae dan Park Hae Soo

Mental Sae Byok sebagai perempuan lone wolf yang berjuang demi keluarganya dan tak percaya kepada siapapun, berbalik sikap ketika memberikan kepercayaan kepada Gi Hun agar saling menjaga anggota keluarga satu sama lain bila bisa keluar dari area permainan hidup-hidup.

Adegan kakak beradik yang berakhir tragis, juga menggambarkan kadangkala romantisme sibling relationship adalah sesuatu hal yang tak bisa terpetakan dan tergambarkan dengan kata-kata.

  • Tak Pernah Puas

Pernyataan Il Nam, kakek tua iconic memberi kejutan di episode terakhir . Lebih baik ikut bermain daripada hanya menjadi penonton, sebenarnya menyentil kita. Untuk lebih aktif dan menjadi pemain dalam setiap riak kehidupan sebelum tergilas.

Pertanyaannya kepada Gi Hun patut ditanyakan kepada diri kita masing-masing. Masihkah kita memercayai manusia lain? Ketika yang setia dikorbankan, kegilaan kepada kekuasaan dan uang melebihi kasih sayang kita kepada saudara, maupun ketika kita dipermainkan oleh kepentingan yang lebih berkuasa atau berpunya daripada kita.

Akhir series ini memang tidak memberikan happy ending yang memuaskan banyak pihak meski janji Gi Hun untuk menjaga keluarga Sang Woo dan Sae Byok ditepatinya. Namun, mungkin bila Gi Hun ditanya apakah ia puas mendapatkan jutaan won, atau apakah Il Nam puas telah ikut bermain dalam arena berdarah, keduanya tak bisa menjawab pasti.

Kepuasan sangatlah relatif. Ketika kita telah mendapatkan sesuatu, kita pasti menginginkan yang lebih dari itu demikian seterusnya.

Squid Game menunjukkannya tentang wajah manusia terkini dengan efek damage yang tak mampu diprediksi.

TULISAN MENARAIK LAIN:Collective, Luka Menganga Korupsi Kesehatan Romania

Tak Siap Hamil

Viralnya Surat Terbuka Nadiem Makarim Kepada Seorang Guru Honorer

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta