Seide.id – Pada 18 Juni 2024, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Dolar AS diperdagangkan di level Rp 16.405, menguat 0,86% dari hari sebelumnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai level terendah dalam 20 tahun terakhir walau ada penguatan dibandingkan hari sebelumnya, namun tren turunnya rupiah ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan masyarakat luas.
Pelemahan rupiah ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya karena penguatan dolar AS yang menguat terhadap mata uang lainnya karena investor global mencari aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Saat ini perlu diketahui Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa walau belum secara resmi dinyatakan resesi. Namun, tanda-tanda pelemahan ekonomi di kedua kawasan tersebut cukup terlihat.
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat melambat: pada kuartal pertama dan kedua 2023 mengalami kontraksi. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa negara tersebut akan memasuki resesi.
Ditambah inflasi di Amerika Serikat mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, yaitu 9,1% pada Juni 2022. Hal ini menyebabkan Bank Sentral Amerika (The Fed) menaikkan suku bunga secara agresif untuk memerangi lajunya inflasi.
Disisi lain pertumbuhan ekonomi di zona euro (Eropa) juga mengalami stagnasi pada kuartal pertama 2023. Inflasi di zona euro mencapai level tertinggi dalam 8 tahun terakhir, yaitu 8,6% pada Mei 2023. Hal ini menyebabkan Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2011.
Sehingga secara keseluruhan membuat investor beralih ke dollar Amerika sebagai aset yang aman. Dan investor asing banyak yang menarik modalnya dari pasar keuangan Indonesia akibat situasi global yang sedang tidak menentu, demikian juga dinamika politik di Indonesia saat pemilu tahun ini serta adanya keuntungan dari naiknya suku bunga dolar AS yang meninggi.
Selain ini juga sebagai akibat perang Ukraina telah memicu krisis energi dengan pemberian sangsi terhadap Rusia pemasok gas terbesar Eropa telah menyebabkan harga energi di Eropa melonjak tinggi. Yang tentu ini telah membebani ekonomi dan meningkatkan risiko resesi.
Selain faktor diatas untuk dalam negeri juga terjadi penurunan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan CPO, mengalami penurunan. Yang mana ini telah menyebabkan berkurangnya pasokan dolar AS di pasar domestik.
Penurunan harga komoditas batubara dan CPO (Crude Palm Oil) dalam beberapa waktu terakhir menjadi perhatian serius bagi Indonesia, karena kedua komoditas ini merupakan penyumbang devisa negara yang signifikan.
Adapun penurunan disebabkan resesi global di tahun 2023-2024 sehingga negara negara di dunia cenderung mengurangi aktivitas ekonominya untuk penghematan.
Selain itu untuk energi sejumlah negara berkomitmen untuk beralih ke energi terbarukan untuk pengurangan dampak emisi gas rumah kaca, sehingga mengurangi penggunaan energi fosil seperti batubara, dan menyebabkan permintaan batubara di pasar global menurun dalam jangka panjang.
Selain itu adanya Perang Dagang AS-Tiongkok telah mengganggu rantai pasokan global dan menurunkan permintaan komoditas, termasuk batubara dan CPO.
Diluar faktor eksternal, sementara di tingkat lokal malah terjadi peningkatan produksi batubara di Indonesia, baik dari perusahaan tambang nasional maupun swasta, telah menyebabkan kelebihan pasokan di pasar domestik dan global dan turut menyumbang penurunan harga batubara.
Kemudian akibat kebijakan pemerintah beberapa waktu lalu yang melarang ekspor CPO selama beberapa bulan pada tahun 2022 juga menyebabkan pasokan CPO di pasar global akibat kekhawatiran menjadi menumpuk untuk menekan harga. Selain penurunan permintaan CPO dari negara-negara importir utama, seperti India dan Tiongkok, juga berdampak pada penurunan harga CPO.
Akibat dari menurunnya ekspor batubara dan CPO tentu berdampak negatif terhadap pendapatan ekspor Indonesia, dari sisi penerimaan negara dari pajak dan royalti, serta sektor usaha yang terkait dengan kedua komoditas tersebut. Selain menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di sektor pertambangan dan perkebunan.
Intervensi Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI dalam situasi menurunnya nilai tukar rupiah tentu saja melakukan intervensi di pasar valas dengan melakukan melalui penjualan Surat Berharga Negara (SBN).
Langkah BI menjual SBN di pasar terbuka diperlukan untuk menyerap rupiah yang beredar di masyarakat. Dengan berkurangnya jumlah uang rupiah di pasar berharap akan ini akan membantu meningkatkan nilainya.
Kemudian langkah BI adalah melakukan operasi intervensi di pasar spot, yaitu membeli dolar AS dan menjual rupiah di pasar spot untuk secara langsung dapat mempengaruhi nilai tukar.
Selain tentunya langkah moneter BI akan dapat menaikkan suku bunga acuannya untuk membuat rupiah lebih menarik minat bagi investor.
Namun perlu diingat efektivitas intervensi BI dalam memperkuat rupiah juga tergantung pada kondisi ekonomi global. Jika faktor global yang mendasari pelemahan rupiah masih kuat, maka sebesar apapun intervensi BI mungkin tidak akan cukup untuk menahan pelemahan rupiah secara signifikan.
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah penting dan harus dilakukan BI untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong investasi. Dan juga mencegah terjadinya krisis moneter.
Yang mana jika naik turun atau fluktuasi nilai tukar yang berlebihan dapat memicu krisis moneter, sehingga intervensi BI sangat perlu dilakukan untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Langkah intervensi BI tentu tidak hanya memiliki nilai positif namun juga perlu diketahui bahwa intervensi tersebut akan mengurangi bahkan bisa menghabisi cadangan devisa negara Indonesia.
Perlu juga diketahui cadangan devisa merupakan aset penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan.
Kemudian langkah penjualan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menyerap rupiah di pasar akan dapat meningkatkan tekanan inflasi, karena BI harus menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi untuk menarik pembeli SBN, yang dapat mendorong kenaikan harga barang dan jasa.
Intervensi BI yang berlebihan dapat berakibat mendistorsi mekanisme pasar dan menghambat alokasi sumber daya yang efisien. Hal ini dapat terjadi jika BI terus menerus membeli dolar AS di pasar spot, sehingga dapat membuat harga dolar AS di pasar menjadi tidak wajar.
Pada akhirnya pelemahan rupiah merupakan fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik. Intervensi Bank Indonesia (BI) memang dapat membantu memperkuat nilai tukar rupiah, namun perlu dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan manfaat dan biayanya.
Pemerintah sungguh harus sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan publik dengan teliti dan tanggap mencari sumber masalah dan solusi menyeluruh dalam menanggapi tren penurunan rupiah yang diperkirakan masih akan berlanjut.
Tentunya dengan sosialisasi dan dukungan masyarakat luas, dinamika nilai tukar rupiah akan tetap dapat diatasi. Rakyat Indonesia telah terbukti memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa dalam menjaga dan memperjuangkan masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Oleh Jeannie Latumahina
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Partai Perindo
KPK Dinamika Penyitaan Antara Hukum dan Kewenangan Berpotongan