Sama sama mengalami tekanan dan sanksi negara negara Barat, Rusia dan Iran kini meningkatkan kerjasama militer dan ekonomi. Kedua negara juga akan meningkatkan angkatan bersenjatanya. Dunia belahan utara masih memanas!
Seide.id. – Presiden Vladimir Putin akan mengunjungi Iran pada Selasa (19/07), menandai berkembangnya hubungan kedua negara sejak perang di Ukraina.
Dalam perjalanan keduanya ke luar negeri sejak perang di Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu Presiden Iran Ebrahim Raisi di Teheran pada Selasa (19/07).
Di Teheran, Putin akan bergabung dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk membahas situasi di Suriah, di mana Iran, Rusia, dan Turki menempatkan angkatan militernya.
Pertemuan itu juga akan memberikan kesempatan bagi Moskow dan Teheran, yang saat ini dikenai sanksi oleh Barat, untuk mengembangkan kerja sama militer dan ekonomi, serta menunjukkan kepada Barat bahwa mereka tidak terisolasi, Deutsche Welle melaporkan.
Teheran dan Kremlin memiliki tujuan yang sama, dengan para pejabat dari kedua negara berulang kali menyatakan kesediaan mereka untuk memperluas kerja sama komersial dan politik.
Kunjungan Putin terjadi sekitar seminggu setelah Washington mengungkap bahwa Teheran sedang bersiap untuk menjual drone bersenjata ke Moskow untuk digunakan dalam perang di Ukraina.
Namun, Iran menyebut kerja sama teknologi dengan Rusia sudah berlangsung lama sebelum perang, tanpa mengonfirmasi atau menyangkal klaim Amerika Serikat.
Di tengah meningkatnya isolasi diplomatik, peningkatan perdagangan dengan Rusia dapat menciptakan kelegaan bagi ekonomi Iran, yang telah mengalami kesulitan di bawah sanksi minyak dan perbankan AS selama bertahun-tahun.
Rusia, di sisi lain, melihat Iran sebagai penyedia senjata potensial, menawarkan rute perdagangan dan keahlian dalam menghindari sanksi dan mengekspor minyak.
Kemitraan militer antara Teheran dan Moskow telah berkembang sejak pecahnya konflik yang berlangsung selama satu dekade di Suriah.
“Sebagian besar tetap merupakan kerja sama taktis atas masalah kepentingan bersama di kawasan itu,” kata Abdolrasool Divsallar, profesor tamu studi Timur Tengah di Università Cattolica del Sacro Cuore di Milan, Italia, kepada DW.
Para pejabat Iran, terutama garis keras konservatif – yang saat ini memerintah negara itu – selalu berusaha mengembangkan hubungan mereka dengan Rusia, tetapi perang di Ukraina kini telah menjadikan Iran elemen yang lebih sentral dalam diplomasi Putin.
Selama beberapa bulan terakhir, perdagangan antara kedua negara telah berkembang, menurut beberapa laporan oleh media Iran.
Selama pertemuan dengan Presiden Raisi di sela-sela pertemuan puncak regional di Turkmenistan bulan lalu, Putin mencatat bahwa perdagangan antara kedua negara naik 81% pada tahun 2021.
Namun, pada saat yang sama, Rusia dan Iran juga tetap menjadi pesaing di pasar minyak.
Rusia memotong pangsa pasar Iran dalam upayanya mencari pembeli baru untuk minyaknya sendiri.
“Rusia dan Iran sebenarnya bersaing, terutama di pasar energi,” kata Hamidreza Azizi, seorang peneliti di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP) mengatakan kepada DW.
“Iran dan Rusia belum menjadi sekutu,” kata Abdolrasool Divsallar. “Iran enggan mengutuk invasi Ukraina, tetapi mereka telah berulang kali menentang perang, respons yang sangat berbeda dari apa yang diharapkan dilakukan sekutu,” katanya.
Saat ini, Iran tampaknya kehilangan pangsa pasar energinya karena minyak Rusia, yang sekarang dijual dengan harga yang lebih murah.
Pembeli baja terbesar Iran, termasuk Cina dan Korea Selatan, juga telah beralih membeli baja Rusia dengan harga yang lebih murah, surat kabar harian Iran Shargh melaporkan pada 21 Mei 2022.
Alih-alih mendukung Rusia dalam perang Ukraina, Teheran memiliki motif lain untuk mendekati Moskow, kata Divsallar. Dengan pembicaraan nuklir yang sekarang terhenti, “Iran mungkin hanya ingin menunjukkan kepada Barat bahwa ia memiliki alternatif, bahwa ia dapat memiliki pengaruh yang melampaui Timur Tengah.”
Hamidreza Azizi dari SWP mengatakan pemulihan hubungan Iran dengan Rusia berasal dari pandangan yang sama terhadap dunia dan terus mendalam selama beberapa dekade terakhir.
“Kedua negara memposisikan diri melawan dominasi AS dalam hubungan internasional dan keduanya memiliki ambisi untuk melawannya,” kata Azizi. “Selain itu, ketegangan antara Iran dan kekuatan Barat terus meningkat, sejak Republik Islam didirikan pada 1979.”
Tidak seperti Azizi, Divsallar berpendapat bahwa kesepakatan nuklir yang dihidupkan kembali dan pencabutan sanksi selanjutnya dapat membatasi hubungan Iran dengan Rusia dengan memberi negara itu pilihan untuk membangun hubungan perdagangan dengan Barat sebagai gantinya.
“Sebagian besar motif Iran untuk bekerja sama dengan Rusia didorong oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak dan kurangnya alternatif,” kata Divsallar. “Iran tidak dapat mengabaikan hubungannya dengan kekuatan Timur seperti Rusia, selama tidak ada pilihan dari Barat.”
(DW/dms)