Saat Ajakan Bersyukur Menjadi Toksik

Saat Ajakan Bersyukur Menjadi Toksik

Milikilah hidup dan jadilah pahlawan bagi dirimu sendiri. Kita terlalu terbiasa menunggu dibantu, dan memerlukan orang lain untuk mendukung kita.

“Coba kamu liat di sekitarmu, banyak yang kurang, ada yg keluarganya nggak lengkap, tapi kamu lengkap, banyak yang mesti nyambi kerja untuk bisa kuliah, tapi kamu nggak.”

Perempuan di hadapan Dina terus saja membombardirnya, seolah ‘memaksa’ Dina untuk bersyukur, berterima kasih atas kondisinya sekarang yang seperti tak kurang suatu apa.

Dina hendak menjawab, keluarganya lengkap tetapi masing-masing sibuk mengurusi diri mereka sendiri. Dina berkecukupan untuk kuliah, tetapi dia tak merasa senang menempuh pendidikan di tempat prestise, dengan peer pressure dan gaya hidup yang hedon.

Dina merasa salah mengambil langkah berkonsultasi, bila dia mendapatkan perkataan-perkataan yang tak ubahnya menyerupai nasihat tantenya yang agamis atau sahabat kecilnya yang terus mengingatkan untuk tak henti bersyukur.

Apa yang keliru dalam kasus di atas? Sedemikian fragile-kah atau lembek diri Dina sehingga perasaannya terus merasa tak bahagia? Atau apakah dorongan orang-orang untuk bersyukur untuk kondisinya tidak tepat, malah menjadi semacam toxic positivity.

Sesungguhnya dalam situasi apa, sebagai teman kita bisa mengingatkan teman lain untuk bersyukur, atau sebaliknya malah lebih baik diam saja, menjadi pendengar yang baik daripada toxic positivity.

Secara sederhana, proses bersyukur digambarkan sebagai proses melibatkan kesadaran untuk merenungkan betapa hidup kita diberkahi anugerah-anugerah, dan karenanya mulai bertumbuh pola pikir untuk mengapresiasi hal tersebut.

Sementara toxic positivity menuntut seseorang melihat sebuah kejadian sebagai pengalaman yang positif, tidak peduli seberapa tragis kondisi kita ketika itu.

Padahal kedua hal tersebut memiliki maksud yang berbeda. Ketika kita mensyukuri hidup, kita menghargai segala sesuatu yang kita miliki, sembari menyadari bahwa hidup manusia tidaklah sungguh-sungguh sempurna. Sementara toxic positivity sejatinya menyangkal munculnya perasaan negatif.

Saya sendiri akan menuturkan pengalaman pribadi tentang hal ini. Bertahun-tahun mengkampanyekan peduli autis, menjadi orang tua individu autistik yang tampak tegar, pro aktif dan progresif; ternyata tanpa  disadari saya ‘mencekoki diri sendiri’ dengan toxic positivity.

Ketika itu, saya merasa bersalah berkali lipat bila meminta waktu rehat untuk sendiri, ME time istilahnya. Kayak status saya seketika terlabel ibu yang tidak bertanggung jawab.

Saya melupakan bahwa diri ini tetap manusia biasa, yang bisa burn out dan mengalami kelelahan fisik serta mental juga dan perlu ME Time untuk merenungi apa yang telah saya lakukan, sembari mengisi energi saya kembali.

Label tentang Strong Mom, Wonder Mom, si Extra Sabar; seperti menjadi hal yang perlu saya pegang kuat dan buktikan kebenarannya. Padahal kenyataannya, saya terseok-seok dengan semua julukan mengandung pujian itu.

Menurut riset, seseorang yang berpegang pada Toxic Positivity  seperti hidup dalam dunia khayalan, tidak real. Dia ‘dipaksa’ meyakini terjadinya hal-hal yang baik, dalam keadaan seburuk dan sesedih apapun; tanpa jujur mengakui perasaan sesungguhnya

Ahli psikologi pun tidak mendefinisikan Toxic Positivity ini sebagai sikap yang optimis. Karena, pada kenyataannya dalam setiap fase kehidupan, seseorang akan berhadapan dengan kesulitan, maupun mengalami perasaan-perasaan yang tak membuat nyaman. Bukan hal baik atau menyenangkan saja.

Berikut ilustrasi tentang bagaimana toxic positivity ‘memalsukan’ kondisi real seseorang, sebagai gambaran awal, sebelum kita lanjut membahas tentang budaya berpikir positif dan bersyukur yang ‘toksik’.

Kasus : lelaki muda, sebut saja Wim baru di-PHK, beberapa bulan menjelang pernikahannya.

Komentar toksik :

• “coba kamu ambil hikmahnya, mungkin ini saatnya keluar dari zona nyaman.”

• “baguslah, untung masih umur segitu, masih bisa cari di tempat lain.”

• “ingat deh Wim. Satu pintu tertutup, masih ada yang terbuka.”

Padahal Wim kalut sekali, cicilan untuk membeli rumah sebagai persiapan pernikahan terus berjalan, pihak bank tak akan bersimpati kondisinya yang tetiba menganggur.

Ketika Wim bercerita kepada teman-temannya betapa dia merasa sedih, marah, sekaligus bingung; temannya menasihati “Wim, kamu sendiri lho menentukan kebahagiaanmu. Bukan kantor itu, bukan Pak Rudi aka bosmu.”

Wim seketika merasa bersalah bila punya perasaan sedih, padahal sesungguhnya dia sedih betulan. Dia bingung, apalagi bila kekasihnya tahu kalau pernikahan perlu ditangguhkan beberapa waktu, sampai setahun lagi misalnya, karena ketidakpastiannya memiliki pekerjaan tetap.

Ketika Wim menceritakan kecemasannya, respons yang didapat kemudian, “Everything happened for a reason. Justru ini akan tunjukkan dia tulus mencintaimu atau nggak. Jika iya, dia akan sabar menunggu, termasuk meyakinkan orang tuanya untuk bersabar. Kalau tidak, anggap ini seleksi alam bahwa dia bukan jodohmu.”

Akhirnya, Wim makin terpuruk, tanpa bisa menyelesaikan masalahnya.

Nah, bila kita mengamati perkataan-perkataan yang ditujukan kepada Wim, sesungguhnya tak ada seorang pun bermaksud jahat. Hanya saja bersikap dan berkata-kata seperti itu KURANG TEPAT dengan situasinya. Bermaksud memberi semangat tanpa ada keinginan mendengarkan, malah membuatnya makin terpuruk.

Padahal, hanya dengan kita memberi komentar kepada Wim. “Aku tahu ini masa yang berat banget. Kalau kamu perlu waktu sendiri untuk memikirkan bagaimana solusi untuk semuanya, ya tidak apa-apa. Kalau mau teman untuk mendengarkan, jangan segan hubungi aku ya.”

Di dunia digital, bahkan memberi emoji dukungan seperti emoji peluk atau care dalam percakapan sesungguhnya malah bisa menunjukkan support daripada bablas mengucapkan sesuatu yang diasumsikan bermaksud baik, tetapi membuat seseorang makin merasa bersalah akan kondisinya.

Budaya Segala Sesuatu Positif yang “Berbahaya”

Setiap kita berselancar di dunia maya, tak terkira banyaknya kutipan, kisah, postingan yang “mengajak” seseorang untuk berpikir dan bersikap positif. Asumsi saya, hal ini awalnya diinisiasi untuk menciptakan optimisme akan masa depan, ketika dunia dan pergolakannya banyak mengulas hal-hal buruk. Perang, tindak kriminal, musibah, bencana alam kemiskinan, tindak kekerasan, dsbnya yang membuat cemas akan hari esok.

Di satu sisi, hal itu mungkin penting untuk orang-orang yang biasa berpikiran buruk dan pencemas, untuk menjadi lebih positif. Di sisi lain, indoktrinisasi semacam itu kepada khalayak, mampu membuat beberapa orang bisa merasa BERSALAH bila tidak bersyukur.

Sebuah riset menemukan, perasaan semacam ini umumnya muncul pada masa liburan perayaan hari agama,  kenaikan sekolah, atau akhir tahun. Tak jarang bahkan muncul sebagai komentar buruk di media sosial untuk postingan kita, misalnya.

“Kok enak bersenang-senang liburan, padahal banyak yang lagi kesusahan.”

“Yah, rapornya biasa aja, udah mewek. Elo nggak mikir bayar uang sekolahnya kayak anak lain, ‘kan!”

“Badan segitu harusnya bersyukur sist. Nggak usah sok-sok diet dah. Kalau kebanyakan duit, mending nyumbang ke orang yang mau makan aja susah.”

Pernyataan itu seolah, kita tidak ‘diperbolehkan’ punya aktivitas yang menyenangkan diri sendiri, harus ‘sok menderita’ agar selalu mensyukuri hidup. Atau dengan kata lain, bila kita BUKAN dalam kondisi terburuk, seperti berpenyakit kronis, atau berasal dari keluarga yang selalu berkekurangan, kita diharapkan meyakini dan selalu bersyukur. Karena ada orang lain, keluarga lain yang lebih kurang dari kita.

Rasa syukur yang toksik ini (toxic gratitude) justru lebih mencemaskan dari berpikiran buruk. Karena bila terbiasa memiliki pemikiran semacam itu, kita tak bisa melihat segala sesuatu dari kaca mata yang lebih luas dan tentu saja seolah tidak diperbolehkan untuk memiliki keinginan, apalagi merasa bahagia.

Lalu, bagaimana agar kita tetap merasa bersyukur dan tidak terjebak dalam toxic positivity maupun toxic gratitude.

Milikilah hidup dan jadilah pahlawan bagi dirimu sendiri. Kita terlalu terbiasa menunggu dibantu, dan memerlukan orang lain untuk mendukung kita.

Faktanya, hanya diri kita yang akan membuat segala sesuatu menjadi baik. Rasakan bagaimana tubuh kita bereaksi terhadap makanan, cuaca, dsbnya. Dengarkan bagaimana hati kita merespons terhadap kejadian, rasakan perasaaannya.

Tak perlu menunggu masyarakat memberi label atau memvalidasi kita, karena ketika tidak terjadi proses itu, kemungkinan kita kehilangan arah akan makin besar.

Buatlah diri hendak diketahui seperti apa. Validasilah diri, bukan untuk memuji kita telah berbuat sejauh mana. Akan tetapi, untuk bisa memberi peluang mengambil tantangan baru, menganbil risiko, baik yang keliru, dan kegagalan sekalipun.

Hal yang tak kalah penting, tumbuhkanlah semangat dan minat untuk terus belajar. Takut gagal adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, keinginan untuk terus belajar, di tengah jalan mengalami hambatan, menemui kegagalan atau keberhasilan, belajar mengevaluasi lalu memperbaikinya; akan membuat kita tak mudah terintimidasi oleh omongan orang lain, terutama toxic positivity.

Pada akhirnya kita akan bisa mensyukuri dan menikmati hasilnya, karena proses bagaimana kita sudah berjalan sejauh itu dengan segala tantangannya, telah menumbuhkan pribadi sampai menjadi KITA di hari ini.

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta