Ibu muda itu terpaku.
Tak percaya apa yang dilihatnya.
Ia tersihir.
Tertunduk.
Benaknya diaduk-aduk.
Cairan bening meleleh di pipinya.
Ia seperti disadarkan.
Wajah ibunya yang sumringah mengenalkan cucunya pada temannya.
“Aku…?” Tubuh ibu muda itu berguncang menahan isak.
Ia seperti disadarkan.
Selama ini ia lebih sering nutupi fakta. Tak berani terima kenyataan. Tugas sepenuhnya ngopeni anak diserahkan kepada bibik tua yang setia, & ikuti keluarganya sudah puluhan tahun. Sangat dipercaya, & jadi bagian keluarganya.
Ia asyik ngejar karir.
Salah satu sebabnya, anak satu-satunya berkebutuhan khusus. Kenyataan itu tak bisa diterima.
Ia & suami sehat. Normal. Begitu pula dengan silsilah kedua keluarga besar.
Ia & suami syok.
Komplain kepada Allah.
Aib itu menyiksa.
Ngeluh & ngeluh.
Lalu ia & suami melayari hidup dengan kesibukan semu.
Momong anak seperlunya.
Tak lebih sekadar berpura-pura.
Kenyataannya, kasih sayang Ibu & ketulusan pada cucunya itu sungguh mengharu biru hatinya.
Matanya dicelekkan.
Ibunya yang datang berkunjung & nemeni cucunya ke sekolah, menyadarkannya.
Hikmah bibik tua pulang kampung, karena kakaknya meninggal.
Ia aktif tapi jiwanya kosong. Hidupnya untuk komplain & nolak realita. Untuk berpura-pura. Padahal hidup itu realita. Anugerah. Anaknya adalah anugerah Allah yang kudu disyukuri.
Dihelanya nafas panjang.
Angin kesadaran penuhi jiwanya.
Ia harus bagi waktu untuk ngopeni anaknya. Buah cinta kasih dengan suaminya.
Ia ingin anaknya hidup normal, mandiri, & jika bisa berprestasi.
Ia usap matanya.
Sambil senyum ia menghampiri ibunya.
Bibirnya bergumam mohon ampunan.
Dipeluknya anaknya!
Ia tak ingin mengecewakan anugerah Allah.
Tangisnya pun pecah …