Mengejar sesuatu tak pernah selesai. Berhenti berlari menyadarkan kita, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk diri kita, keluaraga kita dan lingkungan kita. Berhenti berlari memebri kesempatan jiwa untuk memebrsihkan diri.
Jarak Jakarta- Solo sekitar 637 Km. Jika naik mobil, perlu 7 jam melalui tol dengan beaya keseluruhan Rp 447,000, bensin 58,3 liter senilai Rp 750,000. Jika dilakukan dengan jalan kaki, pengalaman Rio, pengemudi bus yang dipecat dari pekerjaannya, dilakukan selama 4 hari.
Tapi ada juga yang nekad berlari dari Jakarta ke Solo. Tapi, tentu saja bnukan Amin Rais yang ingkar janji jalan kaki Jakarta-Yogya.
Namanya Lorenz da Silva, asal Sukoharjo, pinggir Solo, Jawa Tengah. Ia pernah sekolah di SD Tarakanita Solo Baru dan pernah mengenyam pendidikan di SMP terbaik di Kota Solo, yaitu SMP 5 Surakarta.
Ia berlari dari Jakarta menuju Solo karena tujuannya adalah berlari di kejauhan lebih dari 600 KM. Jarak Jakarta – Solo lebih dari itu, yakni di angka 637 Km.
Setiap ia berlari, ia menempuh 10KM dengan waktu 1 jam 30 menit. Tiap meter ia memperoleh 3 langkah kaki, sehingga 600 Km sama dengan 1,800,000 langkah kaki atau diseslesaikan dalam waktu 88 jam 42 menit atau 3,6 hari. Itu dilakukan pada 2017.
Meski sampai di tempat tujuan, da Silva tak menjelaskan, berapa kali ia berhenti untuk makan, minum dan istirahat. Tetapi besar kemungkinan ia melakukan itu. Hanya tak diketahui berapa kali ia berhenti berlari.
Jika usia manusia dibatasi hingga 100 tahun, berapa usia anda sekarang ?. Jika umur anda di atas 60 tahun- setengah usia hidup- atau tepatnya lebih dari 64 tahun, akankah anda berlari terus seperti da Silva dari Sukoharjo, atau berhenti berlari, lalu menikmati hal-hal indah yang selama ini anda lewatkan sejak anda berlari.
Orangtua Amerika usia di atas 64 tahun mulai mempertanyakan apakah orang masih ingat dia. Perasaan galau dilupakan itu terwalikan dalam lirik When I’m Sixty Four ( The Beatles). “ Jika saya usia 64, masihkan kalian menjengukku atau mengirimkan kartu pos dengan anggur kesukaanku ?”
Usia di atas 64 tahun sebaiknya berhenti berlari mengejar duniawi. Sudah saatnya anda mulai menikmati hal-hal sekeliling yang sering dilupakan saat anda berlari mengejar sesuatu.
Lihatlah, tanaman tetangga kita telah banyak berbuah dan bisa dipetik untuk kebahagiaan lingkungan. Anak-anak tetangga yang dulu dimomong pembantu di dalam kereta dorong, kini sudah sekolah dengan seragam bagus, sembari menyapa, “ Good morning Opa”. Jalan sepanjang cluster kita ditumbuhi dengan bunga dan buah-buahan, tetapi pekarangan pak Supri gersang, setelah tak diurus isterinya yang meminta cerai karena Supri hobi selingkuh.
Semua ini terlewatkan dari perhatian kita karena kita sibuk berlari. Sibuk mengejar bisnis yang tak ada habisnya. Apakah anda akan terus mengejar untung, jika sudah saatnya berhenti mengejar.
Cobalah renungkan ini: Jika anda terus mengejar untung, anda tidak bisa menikmati hidup ini. Padahal hidup tak melulu mengejar keuntungan. Banyak hal yang perlu dikejar: kesehatan, kebahagiaan, menikmati hidup bertetangga dan berteman, atau membagi keberuntungan kita dengan yang kurang beruntung. Anda akan bahagia sempurna, jika anda mampu membuat orang bahagia. Itulah kebahagiaan sempurna; melihat orang bahagia memuat kita bahagia.
Sebelum terlambat, saatnya anda berhenti mengejar, berhenti berlari. Benar anda memiliki waktu 100 tahun untuk hidup. Namun berhenti belari di usia 60an membersihkan jiwa dan pikiran kita. Serahkan tongkat estapet pengejaran itu pada mereka yang lebih muda dan memiliki energi dan usia lebih panjang.
Nikmati hidup, selagi bisa, dengan berhenti berlari. Nikmati keajaiban dunia bernama cinta kasih, kebahagiaan dan lingkungan yang berubah, karena peran anda selama ini, saat berhenti berlari.
Di Usia Tuanya Legenda Sepakbola Yudo Hadianto Tersiksa Lahir Batin
Menghitung Hari, Mengukur Jarak, Memaknai Hidup – Menulis Kehidupan 394