Oleh HARRY TJAHJONO
Peringatan Hari Ulang Tahun ke 76 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Tanpa perayaan yang meriah yang bisa menimbukan kerumunan dan mengakibatkan kematian beruntun. Tapi, virus Covid-19 sesungguhnya tak sebanding dengan pandemi kebencian akut yang sudah sejak lama menimbulkan gangguan kejiwaan dan perlahan membawa kebusukan akal pikiran banyak orang.
Pemilu 2019 sudah lama selesai. Presiden/Wakil Presiden, 575 anggota DPR RI dan ribuan wakil rakyat yang terpilih di daerah, sudah akan dilantik dan diambil sumpahnya. Tapi, dunia maya dan medsos masih diramaikan kampanye yang diseronokkan ujaran kebencian, digelontor beragam tagar hujatan dan pelbagai klaim permusuhan dari massa yang terpolarisasi dalam kubu 55% versus 45% konstituen.
Benarkah Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat, kini sedang terbelah? Di manakah budaya kegotongroyongan yang kearifannya mampu menjembatani silaturahim? Apakah visi dan persahabatan Bung Karno-Bung Hatta tak lagi bisa menginspirasi?
Di tengah bising hiruk-pikuk polarisasi massa yang beringas, penuh prasangka dan kebencian, persahabatan menjadi sesuatu yang layak dirindukan. Persahabatan adalah hasrat. Adalah harapan dan keinginan yang kuat untuk menemukan serta meneguhkan ikatan batin.
Dalam sejarah dunia, sejumlah elite politik, negarawan besar dan tokoh-tokoh bijsaksana telah menunjukkan contoh nyata pentingnya meneguhkan ikatan batin, kesediaan maaf memaafkan, kerelaan berdamai dengan realitas, demi menjaga keutuhan bangsa dan untuk memuliakan kemanusiaan.
Lincoln (1809-1865), semasa jadi Presiden AS menerima ratusan surat permohonan maaf dari para prajurit yang melakukan pelanggaran disiplin militer. Surat-surat itu lazimnya dilampiri sejumlah rekomendasi dari tokoh berpengaruh dan sahabatnya.
Suatu ketika, Lincoln heran karena ada sepucuk surat permohonan maaf yang tidak dilampiri satupun rekomendasi. Ketika ajudan menjelaskan bahwa si prajurit memang tidak punya sahabat, Lincoln menandatangani surat permohonan itu seraya berkata, “Baiklah. Mulai sekarang saya yang akan jadi sahabatnya.”
Begitu pula Charles Dickens (1812-1870), novelis terkemuka Inggris, seorang unitarian yang menampik dogma-dogma agama dan memuliakan kesadaran sosial. Pada sore yang cerah, saat Dickens makan angin di York, seorang perempuan yang tidak ia kenal menghampiri dan berkata, “Tuan Dickens, ijinkan saya menyentuh tanganmu yang telah mengisi rumahku dengan banyak sahabat.”
Contoh nyata juga dilakukan Presiden Joko Widodo yang merangkul lawan politiknya, Prabowo dan Sandiaga Uno, menjadi menteri dalam kabinetnya. Sebuah kerelaan yang mustahil dilakukan oleh presiden terpilh di penjuru dunia.
Persahabatan adalah hasrat yang purba. Adalah itikad. Tolok ukurnya bukan sekadar rentang waktu, melainkan juga karena di dalamnya terkandung visi, harapan, kegembiraan dan inspirasi yang bermanfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu persahabatan Bung Karno-Bung Hatta yang mengalami pasang surut dan bahkan dilumuri ironi, menjadi penting dikenang dan dirayakan–terutama di saat bangsa yang kelahirannya mereka bidani sedang dirundung prasangka, kebencian dan kemelut pertikaian kuasa.
Celakanya, kebencian sungguh telah berlumut di sekujur otak pecundang yang tidak bisa menerima kemenangan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Kebencian yang akut sehingga layak disebut penyakit kejiwaan. Oleh karena itu ketika mural Jokowi404NotFound pada dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta dihapus aparat dan pembuatnya dicari polisi, maka narasi yang dimunculkan adalah Presiden Jokowi antikritik. Mereka lupa, atau sengaja abai, bahwa mengotori fasilitas umum yang notabene milik pemerintah adalah suatu pelanggaran hukum. Tapi, demikianlah jika kebencian terlanjur berlumut di sekujur otak.
Bahkan karenanya Fadli Zon merasa keren dengan menegaskan bahwa presiden bukan lambang negara—suatu narasi yang membangun penyesatan nalar bahwa karena presiden dan siapapin yang bukan lambang negara maka boleh dihinakan. Akibatnya, sehari kemudian seorang jurnalis mengunggah olok-olok rasis yang menyebut Presiden Jokowi yang mengenakan pakaian tradisional Baduy sebagai cocok, tinggal bawa madu dan jongkok di perempatan. Kebencian yang berlumut telah menyesatkan nalar sehingga tak cukup hanya melampiaskannya kepada Jokowi tapi juga merendahkan suku Baduy. Sungguh ketololan yang menyedihkan sekaligus memalukan.
Persahabatan adalah hasrat, adalah itikad, yang setidaknya bisa menyegarkan kesadaran sosial untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling mengasihi. Untuk itulah persahabatan layak dikenang, pantas dirayakan—kecuali bareng Fadli Zon dan sekutunya *