Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk. Lalu muncul wajah yang tidak asing, Pak Sabar. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiriku.
“Lho, bukannya Bapak hari ini minta izin tidak masuk?”
“O, mohon maaf! Uang yang Bapak berikan lewat kasir kelebihan. Saya takut…,” suara Pak Sabar bergetar.
“Lho? Jika kelebihan, Bapak tidak harus datang. Bisa telepon Mbak W untuk menjelaskan hal itu,” kata saya sambil tersenyum. “Jadi Bapak belum pergi ke sekolah?”
“Belum,” Pak Sabar menggeleng, lalu menyorongkan amplop berisi uang itu ke atas meja. “Silakan Bapak hitung dulu…”
Saya menyilakan Pak Sabar duduk. Lalu melepon Mbak W untuk datang.
“Begini, Pak… Kemarin, uang yang saya berikan pada Bapak itu 2 juta, tambahan 2 juta itu sebagai intensif dan dedikasi Bapak selama bekerja di sini. Jadi saya tidak salah hitung,” jelas Mbak W.
“Tapi itu besar sekali…,” suara Pak Sabar tercekat.
“Bapak sudah lega dan marem, kan. Sekarang Bapak ke sekolah ngurus pendaftaran anak dulu,” kata saya tersenyum menahan haru.
Pak Sabar berulang kali mengucapkan banyak terima kasih. Matanya memerah.
Hati saya seperti ditusuk sembilu, perih sekali. Mencari pribadi jujur seperti Pak Sabar itu sulit. Bagaimana tidak. Istri Pak Sabar sakit dan anaknya masuk sekolah. Sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi ia tidak silau melihat uang itu dan tergiur untuk memiliki. Sebaliknya ia ngotot mengembalikannya. Ia lebih mendulukan untuk menyelesaikan urusan uang, ketimbang sekolah anaknya. Ia takut, karena merasa uang itu bukan miliknya.
Dedikasi dan loyalitas Pak Sabar tidak diragukan lagi. Sejak pertama kali kerja, ia selalu mendulukan kepentingan kantor ketimbang urusan keluarga, sehingga ia jarang minta izin. Ia tidak mau menerima uang yang asal diberi, tapi tidak jelas peruntukkannya.
Dari sorot mata Pak Sabar, tampak jelas kepribadiannya yang jujur, mandiri, dan tidak butuh dikasihani. Misal, ketika dimintai tolong oleh teman-teman untuk beli suatu barang. Ia akan menolak, jika diberi uang. Karena ia lebih senang dibelikan gorengan atau rokok. Alasannya, bisa untuk rame-rame.
Bagi saya, mencari pekerja yang pintar, handal, profesional itu banyak dan mudah. Tapi memperoleh pekerja yang jujur, loyal, dan berdedikasi itu sulit. Pak Sabar adalah aset kejujuran yang langka ditemukan di kota-kota besar.
Semoga hidup jujur, berdedikasi, dan loyal dalam bekerja makin membudaya di negeri ini. Dan bertumbuh di setiap hati insani.
Foto : Melk Hagelslag/Pixabay