Foto : Jose Antonio Alba/Pixabay
“Siapakah sahabat sang kutu buku?”
Paus Benediktus XVI mengundurkan diri dari jabatannya setelah delapan tahun memimpin umat Katolik sedunia.
Akhirnya, sehari-hari sang emeritus itu mulai menyibukkan diri dengan berdoa dan selebihnya beliau justru sangat bahagia bercengkerama kembali dengan para sahabat lamanya, “kedua puluh ribu buku.”
Ketika sang “pelahap buku” dijuluki sebagai si “kutu buku.”
Membaca buku berkorelasi langsung dengan “menulis buku.” Membaca dan menulis, dua sahabat kental, sebagai potensi diri sang manusia yang akhirnya digelari sebagai sang kutu buku.
Buku adalah “jendela dunia,” artinya, lewat membaca buku sang kutu buku itu dapat menjelajahi planet bumi, dunia ini. Di sana, dia berkenalan dengan sang sesama manusia yang berbudaya dan beradat istiadat tertentu, potensi daerahnya, bahasa dan keyakinannya, dll.
Saya terkenang akan sejumlah kecil sang “kutu buku” di tanah air kita.
Mereka, Drs. Muhamad Hatta, Ir. Soekarno, dan Prof. Dr. B.J. Habibie.
Kebetulan, ketiga tokoh nasional ini juga sebagai pemimpin bangsa besar ini. Drs. Muhamad Hatta, wakil presiden, Ir. Soekarno, presiden, dan prof. Habibie, wakil dan juga presiden Republik Indonesia.
“Membaca itu mencerdaskan bangsa,” sebuah adagium yang sangat nalar dan masuk di akal kita.
Jika keterampilan membaca adalah sebuah budaya, maka spirit berliterasi yang kini tengah digencarkan pemerintah dan masyarakat sangat perlu didukung oleh semua pihak. Tentu, lembaga edukasi, sekolah serta kampus adalah “sarang paling ideal” untuk menumbuhkan spirit membaca ini.
Mari, gemar membaca, demi membagun spirit kemanusiaan semesta!
Malang, 29 September 2022