Soal Baduy Hitam, Baduy Putih

Urang Baduy Hitam tak pernah berani mengenakan ikat kepala berwarna putih, karena itu melanggar adat, melanggar pikukuh. Sementara urang Baduy Putih, di manapun berada, walau mengenakan baju warna hitam, selalu menunjukkan jatidirinya dengan mengenakan ikat kepala berwarna putih. (Foto : Heryus SS)

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Hebat ye, Bang…. Mas Jokowi, Presiden kita. Gegara beliau pake baju adat Baduy Luar, ketika mau bacain pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR-RI, 16 Agustus kemaren, kian beken ‘lah budaya urang Kanekes ke seantero dunia,” kata Mak Wejang.

Urang Baduy adalah masyarakat adat satu-satunya di dunia yang hidup dan bersosialisasi dengan 2 (dua) aturan sistem hukum, yakni hukum adat atau pikukuh dan hukum administratif dalam sistem hukum positif Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD ’45. Berpegang pada kedua sistem hukum ini urang Baduy yang disebut Profesor Alosyio Santos (dari Brazil) sebagai saksi hidup Peradaban Atlantis yang hilang, eksis selama ini di Pegunungan Kendeng di selatan Tanah Banten.

Kehadiran jalur kereta api Pulau Jawa, khususnya yang dari Tanah Abang – Jakarta hingga ke Rangkasbitung di Lebak, lalu tembus ke Labuan dan Merak di pesisir barat Banten, membuat ekonomi kawasan ikut terbuka, dan arus barang dari pusatnya kian jauh menjangkau pasar.

Secara administratif, urang Baduy adalah warga Desa Kanekes (kanekekes adalah nama lain dari asam kranji) Kecamatan Leuwiedamar Kabupaten Lebak. Kanekes terdiri dari 3 buah kampung (Cibeo, Cikeusik dan Cikeurtawarna) yang disebut Baduy Dalam atau Kajero’an, dan sedikitnya 40 buah kampung yang disebut kawasan Baduy Luar atau Kaluaran atau Baduy Panamping.

Semua urang Baduy sekaligus warga Desa Kanekes dipimpin kepala desa yang populer sebagai Jaro Pamarentah, berkedudukan di Kampung Kaduketug yang kerap disebut sebagai ibukota Baduy. Namun untuk urusan adat, masyarakat Baduy yang terdiri dari urang Panamping/Kaluaran/Baduy Luar dan urang Kajeroan/Baduy Dalam, dipimpin seorang Pu’un (dan jajaran adat lainnya) yang berkedudukan di Cibeo. Karena itu tiga kampung yang disebut Baduy Dalam juga kerap disebut sebagai Kapu’unan.

Secara kasat mata, apalagi bila ada upacara tahunan Nyaba Bapa Gede ke Rangkasbitung, kedua ‘golongan’ urang Baduy memang gampang dibedakan dengan melihat warna pakaiannya, hitam atau putih. Namun secara antropologis dan sosiologis, pakaian warna hitam dan putih ini bukanlah faktor hakiki pembeda antara urang Baduy Hitam dan urang Baduy Putih. Lantas apa dong yang membedakannya? Sabar, bro…!

Tempo doeloe, jauh sebelum kolonial Belanda bercokol di Indonesia, bisa jadi urang Baduy Hitam memang berpakaian serba hitam dan orang Baduy Putih berpakaian serba putih. Bisa jadi pula semua bahan pakaian itu dibuat sendiri oleh urang Baduy dari kulit kayu atau serat kayu yang dipintal jadi benang dan ditenun jadi kain. Tapi situasi berobah ketika jalur kereta api dari Tanahabang telah tembus ke Rangkasbitung pada 1 Oktober 1899.

Kehadiran jalur kereta api pulau Jawa, khususnya yang dari Tenabang Jakarta hingga ke Rangkasbitung di Lebak, lalu tembus ke Labuan dan Merak di pesisir barat Banten, membuat ekonomi kawasan ikut terbuka, dan arus barang dari pusatnya kian jauh menjangkau pasar.

Kapan masyarakat Baduy menggunakan kain untuk pakaian dari hasil menenun benang buatan sendiri? Entah. Yang pasti di tahun 1970, saat pertama saya singgah di Baduy (bareng rombongan almarhum Rudy Badil dari Mapala-UI), cuma sedikit saja kami temukan perajin tenun gedog.

Kain tenun asli yang dibuat para wanita Baduy di beberapa kampung yang saya temukan saat itu, merupakan langka yang tiap lembarnya pun dibuat dalam tempo yang lama; Karena itu, umumnya urang Baduy (berjumlah sekitar 26.000 jiwa, sensus penduduk 2007) menggunakan kain blacu (bahkan banyak yang memanfaatkan karung terigu) yang dibeli atau hasil barter dari pedagang keliling yang berbisnis di Baduy. Termasuk kain batik warna biru motif dedaunan warna hitam asal Tenabang, Jakarta.

Tak pernah saya dengar ada pikukuh, bahwa Urang Baduy Hitam harus mengenakan pakaian warna hitam atau kelap, dan urang Baduy Putih harus bepakaian putih. Faktanya, sejak pertama saya datang ke Baduy tahun 1970, banyak orang Baduy Dalam atau Baduy Putih yang dalam keseharian mengenakan baju warna hitam. Sebaliknya sering terlihat urang Baduy Hitam juga mengenakan baju warna putih.

“Lalu apa dong beda Baduy Hitam dan Badut Putih?” celetuk Mak Wejang. Gampang. Jangan lihat bajunya, tapi lihat IKAT kepalanya. Urang Baduy Hitam, tak pernah berani menggunakan ikat kepala berwarna putih. Karena itu melanggar adat, melanggar pikukuh, Sementara urang Baduy Putih, dimana pun berada, walau mengenakan baju warna hitam, selalu menunjukkan jatidirinya dengan mengenakan ikat kepala berwarna putih.

Salam sejahtera bagi para sedulur di Kanekes, Baduy.

20/08/2021 Pk 08:54

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.