Foto : Peteris Gertners /Unsplash
Mohon maaf, jangan berpikir minor dan tendensius. Arti salib ini tidak bermaksud untuk kristenisasi, tapi untuk memaknai lambang dan tujuan hidup kita yang hakiki.
Lihat, amati, dan maknai. Apakah, setiap kali kita melihat perempatan jalan, simpang empat, karena ada lambang salib lalu dibuatkan jalan lagi sehingga jadi simpang lima, enam, dan seterusnya.
Begitu pula jika kita menyusun benda motif bujur sangkar, atau apapun yang membentuk tanda salib itu mesti diubah. Bahkan, jika perlu hubungan horinzontal dan vertikal itu dihilangkan. Lalu, kita melihat secara atau berjalan dengan miring.
Astaga! Kenapa kita senang sekali mengkerdilkan diri, menyempitkan pikiran, dan membutakan hati, padahal dunia ini teramat besar dan luas.
Hidup ini anugerah Allah yang harus disyukuri dan dinikmati. Tidak seharusnya kita komplain, mencela, atau menghina karya agung-Nya. Kita ini tidak lebih wayang yang dimainkan oleh Ki Dalang. Apapun peran kita harus dijalani, disyukuri, dan ikhlas.
Coba direnungkan. Ketika menarik garis horizontal lalu garis vertikal, kita mendapati titik potong. Apakah kita fahami maknanya?
Titik potong itu sebagai pusatnya, yakni hati kita. Hati sebagai pusat kontrol hidup kita untuk membangun hubungan yang baik dengan Allah dan sesama.
Dengan hati, kita mengontrol pikiran agar sikap, tindakan, dan kata-kata yang ke luar dari mulut ini tidak menyinggung dan melukai perasaan orang lain.
Dengan hati, kita membangun intimasi dengan Allah agar yang kita kerjakan berkenan bagi Allah. Kita dimampukan untuk mengasihi sesama sebagai ungkapan pujian dan syukur kita kepada-Nya.
Hati kita sebagai sumber kasih-Nya di dunia.
Berserah Pasrah Itu Mudah Menjalaninya Sulit