Saat penyerangan terjadi, novelis berusia 75 tahun yang selama 30 tahun terakhir bersembunyi karena mendapat fatwa mati itu hadir dalam suatu acara di Chautauqua Institution di New York.
Seide.id – Agen Salman Rushdie mengatakan sang penulis kini dirawat dengan ventilator dan tidak bisa bicara. Ia menambahkan bahwa Rushdie mungkin akan kehilangan satu matanya.
“Salman kemungkinan akan kehilangan satu mata; syaraf di tangannya putus; dan livernya ditikam dan rusak,” kata Andrew Wylie dalam sebuah pernyataan.
Polisi Negara Bagian New York mengatakan tersangka seorang pria naik ke panggung dan menyerang Rushdie dan orang yang sedangmewawancarainya.
Polisi mengatakan telah menahan tersangka namun belum mengonfirmasi motif dan dakwaannya. Mereka masih dalam proses mendapatkan izin untuk menggeledah tas dan sejumlah perangkat elektronik yang ditemukan di lokasi.
Rushdie ditikam setidaknya satu kali di bagian leher dan abdomen, kata pihak berwenang. Ia dibawa ke rumah sakit di Erie, Pennsylvania, dengan helikopter.
Para saksi mata mengatakan Rushdie ditikam berkali-kali oleh orang bertopeng ketika novelis itu akan memberikan ceramah.
Salman Rushdie merupakan penulis kelahiran India berkewarganegaraan Inggris. Dalam kariernya selama lima dekade banyak mendapat ancaman pembunuhan karena novel-novelnya.
Banyak bukunya sangat berhasil, dan novel keduanya Midnight’s Children (Anak-Anak Tengah Malam), meraih Booker Prize pada 1981.
Namun novel keempatnya, The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), yang diterbitkan pada 1988 adalah karya Rushdie yang paling kontroversial.
Sejak 1998 Iran mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap Rushdie akibat novel Ayat Ayat Setan yang dianggap menghina ajaran Islam itu.
Bahkan, Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, pernah mengeluarkan fatwa yang menyerukan pembunuhan Rushdie pada 1989 – satu tahun setelah novel diterbitkan.
Rushdie harus bersembunyi dan mendapat perlindungan polisi setelah menerbitkan The Satanic Verses
Pemerintah Inggris dan Iran memutus hubungan diplomatik namun para penulis Barat mengecam ancaman kebebasan berekspresi.
Salman Rushdie lahir di Bombay, dua bulan sebelum kemerdekaan India dari Inggris. Ia berasal dari keluarga Muslim namun kemudian menyebut dirinya “ateis garis keras“.
Pada usia 14 tahun, ia dikirim ke Inggris dan mendapatkan gelar sarjana sejarah di Kings College, Cambridge. Ia kemudian menjadi warga negara Inggris.
Di Inggris, dia sempat menjadi aktor dan kemudian menjadi penulis iklan sambil menulis novel.
Ketika Ayat-Ayat Setan diterbitkan dan menimbulkan kecaman dari dunia muslim karena dianggap sebagai penistaan agama, India adalah negara pertama yang melarang novel tersebut, diikuti dengan Pakistan dan berbagai negara Muslim lain.
Novel ini dipuji sejumlah pihak dan memenangkan penghargaan Whitbread. Namun kecaman terhadap buku ini semakin meningkat dan dua bulan kemudian setelah penerbitan, banyak aksi protes di jalan-jalan.
Salah satu hal yang dianggap penghujatan adalah karakter dua perempuan penghibur dalam buku itu dinamai sesuai dengan nama istri-istri Nabi Muhammad.
Pewawancara Rushdie, Henry Reese, juga mengalami luka ringan di kepala. Reese adalah pendiri lembaga nirlaba yang didirikan untuk para penulis yang menghadapi ancaman atau persekusi.
Dewan Muslim Inggris mengecam serangan itu dan mengatakan “kekerasan seperti itu salah dan pelakunya harus diadili.”
Akibat berbagai ancaman terhadap nyawanya, Rushdie terpaksa bersembunyi dan pemerintah Inggris menempatkannya di bawah perlindungan polisi.
Pada Januari 1989, warga Muslim di Bradford, Inggris membakar buku tersebut dan toko buku WHSmith menghentikan pajangan buku.
Rushdie sendiri menolak tudingan bahwa buku itu penghujatan.
Pada bulan Februari 1989, sejumlah orang meninggal dalam kerusuhan anti-Rushdie. Di Teheran, Kedutaan Inggris dilempari batu.
Di Inggris sendiri, sejumlah pemuka Muslim mendesak warga menahan diri sementara yang lainnya mendukung Ayatollah.
Amerika Serikat, Prancis dan negara-negara Barat lain mengecam ancaman hukuman mati itu.
Selanjutnya, selalu dalam perlindungan polisi