Oleh ANDI SETIONO MANGOENPRASODJO
Hubungan antara Sang Khalik dan Manusia di masyarakat Jawa dulu itu sangat mesra dan intim sekali. Kenapa kemudian muncul istilah Manunggaling Kawula Gusti.
Saat kita menerima musibah, apa pun itu. Kecelakaan, kesakitan, kemalingan, bahkan ketika nyawa terenggut. Kita hanya bisa mendesah lembut: “Sumangga kersa, Gusti. Nderek panjenengan mawon”.
Simbol kepasrahan, kesemelehan, dan penerimaan tanpa batas.
Sebaliknya, ketika kita diberi kelimpahan yang tak diduga-duga. Alih-alih bersorak gembira. Apalagi pamer lalu menepuk dada. Kita justru nglangut, bertanya: “Kagungan kersa punapa, Gusti. Kok kadingaren….”.
Menunjukkan bahwa kita tak pernah merasa berhak menikmati sendiri, segala berkah yang diberikan-Nya. Ada perintah membagi, ada hak milik yang bukan kita. Bahwa semua sekedar titipan, ampiran, dan selingan.
Gusti Allah yang sedekat urat leher. Ia yang tak pernah berteriak, dan selamanya hanya berbisik.
Sayangnya tokoh yang menyerukan hal tersebut, Wali kesepuluh yang paling njawani justru dibunuh, dihukum mati karena dianggap sesat. Ia lah yang kemudian disebut Syekh Lemah Abang, yang ketika meninggal tanahnya memerah darah.
Dialah Syekh Siti Jenar, yang juga dikenal dengan Sunan Kajenar. Sebutan yang aneh, mengada-ada dan mengejek. Karena sesungguhnya ia satu-satunya wali yang bukan berasal dari golongan bangsawan…..