Tugas kreatif aktor bukan sekadar berperan atau memerankan suatu tokoh, melainkan dan terutama adalah, “Menciptakan tokoh,” kata Butet Kartaredjasa, aktor monolog terkemuka di Indonesia. Proses menciptakan tokoh, utamanya dalam pentas teater, adalah tugas kreatif yang menuntut latihan, literatur, observasi, kontemplasi dan diskusi cukup lama (lazimnya lebih dari tiga bulan). Demikianlah proses Butet ketika tampil dalam Monolog Pak Harto–suatu pencapaian keaktoran yang mumpuni, namun toh Butet menampik untuk mengulang-ulang pentasnya itu meskipun publik menginginkan. Kenapa? Tentu karena tugas kreatif aktor, memang bukan untuk menciptakan semacam produk seni pabrikan yang massal dan komersial. Itu yang membuat pada 2007 Butet kembali menciptakan tokoh monolog Matinya Tukang Kritik, naskahnya Agus Noor. Tokoh yang fenomenal, tragis dan kocak total misalnya ketika secara meyakinkan Butet berakting takjub di pojok panggung karena dalam lakon mitologi ternyata, “Bonggol gedhang kok duwe tempik (gedebog pisang kok punya vagina),” katanya.
Sebetulnya kita terkadang ingin tau apakah artis-artis pemeran sinetron popular dan TV program dalam mengemban tugas kreatifnya juga menjalani proses serius dan njlimet begitu? Pasalnya, skenario sinetron acap dibaca artis pemeran atau dibacakan astrada sewaktu pas syuting, naskah TV program biasanya berupa selembar sinopsis sebagai bahan briefing dan selebihnya terserah improvisasi. Jika kemudian sinetron dan TV program tersebut disukai jutaan penonton, apa gerangan jurus keaktoran para artis itu?
Di era media cetak, wawasan dan kiat kerja kreatif artis masih bisa dibaca di tabloid, koran dan majalah. Tapi, di zaman medsos, media cetak tumbang dan para artis menutup pintu bagi wartawan karena pelbagai alasan–misalnya karena jurnalisnya dianggap ecek-ecek. Tapi, saya kira, sebabnya artis sudah punya media sendiri–YouTube, Instagram, Twitter dan produk medsos lainnya. Daripada melayani wartawan, artis memilih kolaborasi sesama artis membuat konten medsos sesuai yang diinginkan dan bisa dimonetisasi pula. Hasilnya luar biasa. Ditonton jutaan follower dan menghasilkan miliaran rupiah.
Setelah era media cetak (hiburan) tumpas, mewawancarai artis lebih sulit dari menemui presiden. Manager, asisten, humas, tim kreatif dan entah apa namanya menjadi barikade yang sulit ditembus wartawan. Alhasil, medsos adalah sangkar emas tempat di mana artis bebas sesuka-sukanya berkicau, bertelur, bergunjing, nge-prank dan lain sebagainya. Artis tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan wartawan. Kalau ingin menulis berita, silakan kutip dari YouTube atau Instagram artis. Dengan kata lain, di sangkar emas medsos itu artis laksana Caca Handika nyanyi dangdut, “Masak-masak sendiri, makan-makan sendiri…”
Setelah era media cetak (hiburan) tumpas, artis ibarat bermukim di sangkar emas medsos. Jurnalis (yang konon dianggap ecek-ecek) harus melewati barikade manager, asisten, humas, tim kreatif atau pagar lainnya untuk bisa mewawancarai artis. Tidak mudah. Kalau ingin menulis artis, silakan saja kutip dari YouTube, Instagram atau Twitter artis. Mudah. Maka media online, bahkan web media mainstream sekalipun, sekadar sibuk mengais medsos artis–menjahitnya dalam bingkai berita dan judul heboh, kontroversial, yang wow banget supaya diklik pembaca dan berbuah iklan. Apakah artis dirugikan? Semua untung. Media bisa menulis berita yang menarik dibaca dengan cara mudah dan murah. Ditulis baik atau buruk, popularitas artis tidak berkurang malah bertambah. Toh dewasa ini tolok ukur popularitas sekadar bertumpu pada jumlah follower–yang suka dan yang membencinya. Semakin banyak follower yang ngefans dan yang menghujat, akan semakin ngetop popularitasnya dan kian besar pula rupiah raupan hasil monetisasinya.
Tahun 1970-80 an, insan film setara Syumandjaya, Wim Umboh, Soekarno M Noor, Rima Melati, Ade Irawan dan Widyawati, ibarat dewa dewi langit perfilman Indonesia. Sebagai penulis pemula, saya beruntung bisa memanjat orbit langit perfilman lantaran Soekarno M Noor menyutradarai dan Syumandjaya menulis skenario novel pertama saya, ‘Selamat Tinggal Duka’, 1978. Terus berlanjut sampai pada 2005 saya nulis skenario dan menyutradarai FTV ‘Perpisahan yang Indah’ yang dibintangi Ade Irawan, Ria Irawan dan Alex Komang.
Untuk bisa menemui insan film, apalagi begawan perfilman, memang tidak mudah. Terkesan bahwa mereka membangun citra sebagai bukan orang biasa melainkan dewa dewi yang hidup di layar imajinasi publik. Tidak gampang didekati apalagi diajak selfie. Tapi, mereka tidak menutup pintu pada wartawan. Terkadang memang memilih jurnalis dari media berpengaruh, tapi setiap wartawan relatif berpeluang mewawancarai. Sebab, dewa dewi perfilman itu, para seniman begawan film itu, hemat saya, paham benar bahwa mereka butuh pertanyaan-pertanyaan untuk menguji sekaligus menajamkan konsep dan visi kreatifnya, demi tanggung jawab dan kewajibannya mengembangkan wawasan publik, juga untuk memuliakan kemanusiaannya sebagai seniman. Mereka di langit, tapi membumi.
Sangkar emas medsos, kastil (benteng) menara gading artis, adalah tempat nyaman dan aman mengisolasi diri dari wartawan, ber-Caca Handika masak-masak sendiri makan-makan sendiri. Sampai pada akhirnya kelak artis hanya akan dikenal karena rumahnya mewah, mobilnya bagus-bagus, mengoleksi tanaman varigata janda bolong, rutin bersedekah– dan bukan dari karyanya. Tapi, barangkali artis memang tidak merasa butuh disandangi predikat pelaku seni, pekerja kreatif atau seniman. Mereka adalah YouTuber, Selebgram. Dan mengisolasi diri dari wartawan adalah hak yang absolut. Ya sudahlah. ***
*Harry Tjahjono