MENULIS ITU ASYIK (16): Menciptakan Karakter
Oleh BELINDA GUNAWAN
Di abad lalu ada ungkapan populer tentang sepasang kekasih yang bunyinya: “Dunia milik kita berdua, yang lain cuma kos.”
Bagaimana kesanmu mendengarnya? Terkesan egois? Menyebalkan? Aku sih maklum. Dua orang sedang fall in love, mereka terserap ke pengalaman ajaib itu sehingga cenderung cuek pada orang lain. Seolah-olah… ya itu, seolah-olah dunia hanya milik berdua.
Ternyata, jumlah DUA itu cocok dengan pakem menulis cerita pendek. Dua tokoh, atau disebut juga karakter, sudah cukup untuk membangun sebuah cerpen yang notabene jumlah katanya terbatas. Di luar mereka berdua yang ada hanya “anak kos” atau dalam film disebut figuran, cameo. Boleh ikut berperan, selama kehadiran mereka membantu mengembangkan jalan cerita, tapi kalau tidak, silakan menyingkir. Janganlah sosok mereka dibuat begitu kuat hingga jadi dominan dan menarik fokus keluar dari pemeran utama.
Memang dunia nyata seorang penulis bisa saja dikerumuni banyak orang: kakek, nenek, ayah, ibu, pakde, bude, om, tante, sepupu, teman, tetangga, bahkan si doggie dan si empus. Namun ketika menulis sebuah cerpen, ia perlu membatasinya. Paling sedikit satu karakter, paling banyak empat.
Menciptakan terlalu banyak karakter akan menjadi beban tersendiri bagi penulis, sebab ia berkewajiban menciptakan karakter-karakter yang bisa diingat pembacanya. Setiap karakter perlu dibedakan berdasarkan penampilannya, kebiasaannya, sifatnya, caranya berbicara. Mana mungkin penulis membuat diferensiasi itu, kalau jumlah karakternya terlalu banyak?
Aku pernah membaca cerpen tentang sebuah keluarga besar, yang sedang kumpul dalam acara kawinan. Sudah jumlah orangnya banyak, semua ingin ditonjolkan pula. Digambarkan bagaimana si A menyapa di B, si C menggoda si D, si E mengejek si F, dan seterusnya. Belum lagi, semua begitu “kepo” ingin mengetahui kabar terbaru kerabatnya. Memang semua ini menunjukkan kehangatan keluarga, tetapi plot jadi melebar ke mana-mana dan fokus pun jadi kacau.
Belum apa-apa aku sudah scroll-up-scroll-down untuk memahami, ini siapa, apa kaitannya dengan karakter utama. Aku pun meninggalkan cerpen itu dan beralih pada bacaan lain.
Terlalu banyak karakter dalam satu cerita juga mempersulit penulis dalam menggambarkan karakterisasi, sehingga tokoh-tokoh itu terkesan sebagai tempelan saja, boneka tak berjiwa yang diberi nama.
Belum lama berselang aku mengedit sebuah cerpen yang tokohnya hanya dua, seorang ibu dan anak “sementara”-nya, yang dititipkan dalam keluarga itu sebagai exchange student. Penulis menggambarkan ibu dan putrinya yang berasal dari negara lain ini dengan mengesankan. Penggambaran ibu yang sabar di sisi remaja yang masih labil dan ngambekan ini begitu “hidup”, sehingga ketika selesai membacanya aku menarik nafas lega dan berpikir, “Alangkah indahnya cerpen ini.” Padahal plot cerita itu biasa-biasa saja.
Mengingat tujuan utama penulis cerpen adalah mengikat perhatian pembaca dari awal hingga akhir, sebaiknya ia tidak membuat kesalahan dengan melibatkan terlalu banyak karakter . Sebab, bila pembaca alih-alih terhibur malahan menjadi bingung, cerpen itu akan segera ditinggalkannya. Percuma capek-capek menulisnya, kan?