Sebutlah namanya Pak Akhmad Tabrani.
Ayah dari 3 anak lelaki ganteng-ganteng, dari satu istri yang cantik jelita ini, sedang resah. Beliau telah bekerja selama 20 tahun di sebuah perusahaan, sejak dari bujangan (saat masih magang untuk menyelesaikan skripsinya) sampai saat ini. Dia loyal, berkerja keras tanpa menghitung ‘saya akan mendapat imbalan apa’ dan sibuk membakar sesama pegawai yang kehilangan semangat.
Saat ini, perusahaan telah berganti manajemen, dan yang mengelola sekarang adalah generasi ketiga. Pak Akhmad mulai bekerja sejak pendiri perusahaan ini masih memegang penuh kuasa… sampai pemilik pertama tersebut pensiun. Karir pak Akhmad semakin melesat ketika perusahaan dikelola oleh generasi kedua… Dia berhasil mendapat kepercayaan untuk menduduki posisi puncak, padahal bukan keluarga sedarah.
Namun, suasana pandemi membuat pak Akhmad mulai menemukan kejanggalan. Perusahaan ini, malah semakin berjaya selama pandemi sehingga ribuan karyawan tidak satupun perlu dirumahkan. Tetapi tidak terlihat gelagat dari pemilik perusahaan (sekarang generasi ketiga) akan memberikan bonus, atau menaikkan gaji para manajer dan direkturnya. Pak Akhmad gelisah. Apakah keluarga ini memiliki itikad tidak fair…? Apakah mereka hanya bermaksud memeras tenaga karyawan dan eksekutifnya? Apakah saya perlu resign dan bekerja di perusahaan lain..?
Dalam sekali tebar kartu, kami bertiga melihat jawabannya adalah :
- Jangan keluar…!
- Perusahaan ini telah jatuh hati padamu, dan telah menganggapmu sebagai keluarga (itulah makanya, kalau perlu apa-apa, mereka meminta tolong padamu tanpa sungkan… meskipun itu adalah masalah pribadi mereka)
- Mereka memang memiliki pikiran untuk membangun masa depan perusahaan ini dengan bantuan tanganmu. Alias pak Akhmad akan terus menjadi bagian dari kemajuan perusahaan ini.
- Mereka terlihat belum merealisasikan usulan-usulan perkembangan dari pak Akhmad, karena masih ada yang mereka ‘tunggu’ (kami menyebutkan dengan gamblang apa yang sedang terjadi di dalam keluarga itu… dan dibenarkan oleh pak Akhmad, bahwa ‘kasus’ itu memang ada ~ tapi demi etika, tidak kusebut di sini)
- Ada tiga pihak di generasi ketiga, yang semuanya dekat dan akrab dengan pak Akhmad. Tetapi hanya ada satu yang akan menjadikan pak Akhmad sebagai mentornya. Nah, bangunlah kedekatan emosional dan profesional dengan tokoh ini. Dia, meskipun saat ini masih terlihat ‘cupu’, tapi kelak dialah yang akan memegang tampuk kekuasaan. Dialah yang akan memberikan jalan seluasnya bagi pak Akhmad untuk membangun perusahaan ini sesuai ide dan gagasan-gagasannya.
Pembacaan tarot yang berlangsung selama 55 menit (15 menit molor dari jatah waktu) itu diakui oleh pak Akhmad sebagai : telah mengembalikan dirinya ke fokusnya, ke track-nya selama ini : bekerja all out dengan hati dan dedikasi.
Sebetulnya ya, ‘Sang Hidup’ (kalian bisa menyebutnya ‘Tuhan’, ‘Brahma’, ‘Dewa’, ‘Higher Self’, ‘The Source’ atau ‘Semesta’) selalu ‘berbicara’ kepada kita, mengirimkan pertanda-pertanda, berbisik dengan bentuk ‘krentik ing ati’, atau bahkan berpesan melalui mimpi.
Itulah makanya, kita semua diminta untuk ‘iqra’. Untuk membaca.
Membaca apa? Ya membaca pertanda…! Lazimnya seorang pengendara, demikian juga kita sebagai pengelana kehidupan. Baca pertanda lah…! Cermati keadaan, supaya menemukan rambu-rambunya, supaya nggak nyasar karena salah ambil tikungan. Karena, sama seperti dalam kenyataan di jalanan, tidak semua rambu-rambu terlihat jelas. Banyak yang tertutup pohon. Nah, di kehidupan kita, rambu-rambu Semesta itu seringkali tertutup oleh ego (rasa benar sendiri)… tertutup oleh emosi (takut, kuatir, marah, iri, serakah dll)…
Karena itulah, nggak semua orang cukup terlatih untuk ‘membaca’ kehidupan.
Ya nggak papa.
Kami, #Vision_Strategic_Consulting, bisa membantu ‘membaca’kannya bagimu…
Catatan:
Kisah ini sudah dipermak habis! Jadi, kesamaan nama atau sikon, pastilah hanya kebetulan saja….
(Nana Padmosaputro)