Saya dan Haryanto Halim, ‘Plek Ketiplek’

Harjanto Halim - Marimas

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

ORANG Jawa menyebutnya ‘plek ketiplek’, sama persis, ‘jibles’, sebagai persamaan dalam banyak hal, nyaris persis, hampir 100 persen. Itulah yang saya pikirkan dan diucapkan oleh Harjanto Halim, pebisnis, motivator, dosen, spiritualis, yang sedang jadi viral di media sosial, khususnya Tiktok dan Instagram.

Belum lama saya mengikutinya, menjadi followernya, dan saya merasa isi hati saya disuarakan olehnya.  Yang disurakan olehnya adalah suara saya, selama ini. Plek ketiplek. Jibles.

Dia seorang pebisnis, penganut Tao , pengurus Klenteng, tapi fasih bicara tentang sufisme dan ajaran Islam, Budhisme, Kekristenan,  Seni Wayang dan budaya Jawa . Juga wawasan kebangsaan. Dan spiritualitas pada umumnya. Barang tentu juga bisnis.  Dia tinggal di Semarang, pendiri dan boss Marimas, dan Ketua Komunitas Pecinan Semarang.

Saat saya kulik ke Wikipedia, terungkap lebih rinci tentangnya. Harjanto Kusuma Halim atau Liem Tun Hian (lahir di Semarang, Jawa Tengah) adalah pengusaha dan filantropis keturunan Tionghoa berkebangsaan Indonesia. Harjanto merupakan CEO dari PT Marimas Putera Kencana, perusahaan yang memproduksi minuman segar, Marimas.

Di luar pekerjaannya sebagai pengusaha, dia juga beraktivitas di bidang sosial, antara lain menjadi Ketua Perkumpulan Sosial ‘Boen Hian Tong’, Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis) yang kegiatannya dimaksudkan untuk meningkatkan minat wisatawan ke Semarang, menjadi dosen tamu di Universitas Katolik Soegijapranata, dan dewan penyantun Unnes.

Saya sempat dibuat malu, gara gara berbagi video Tiktoknya kepada rekan fesbuker, seorang Gus Durian, tentang papan suci sesembahan Gus Dur di vihara Semarang. Lalu rekan Gus Durian itu balik kirim video Harjanto Halim saat sedang menyanyikan lagu Ya Lal Wathon  – lagu mars NU Dia sudah lebih dulu jadi followernya dan tidak kasi tahu. Waduh.

Tak sekadar asih menyanyikan Ya lal Wathon , dia juga fasih Al Fathihah. Untuk semua acara istimewa di keluarganya, jelang Imlek, malam Suro, pindahan, slametan, dia mengundang modin, gelar tikar  dan doa bersama. Di tengahnya ada ingkung (ayam panggang) dan jajan pasar, bubur merah putih, sesuai tradisi Islam Jawa. “Sudah sejak kecil. Dulu waktu masih bocah, saya cuma bisa ikut ‘hamin’ – ‘hamin’, sekarang sudah bisa dikit dikit (Al Fathihah), “ katanya.

DENGAN pembawaannya yang santun artikulasi jelas, menarik dan nJawani aksen Tionghoa Semarang, Harjanto Halim bicara singkat pada jelas dan atraktif – memenuhi kaidah ‘Tiktokiah’ dan ‘Instagramiah’. Banyak cerita satire, anekdot dan komedinya juga.

Bahkan saya pertama kenal dari video cerita anekdot dan satirenya. Tentang gadis remaja yang hamil saat masih sekolah dan membikin murka orangtua. Lalu ada orang kaya datang, naik sedan Mercy dan menyatakan mau bertanggung jawab. “Kalau nanti lahir anak perempuan saya wirisi dua hotel – kalau lahir laki laki, saya berikan mall dan lima sedan Mercy, “ begitu janji si orangtua. “Tentu saja kalau anaknya lahir. Bagaimana kalau gagal?” si konglomerat itu bertanya.

Orangtua yang semula murka, karena putrinya dihamili sebelum nikah memegang kedua bahu tamunya dan mengguncang guncangnya, seraya berteriak: “Kalau nggak jadi, ya, dicoba lagi!”

Cerita anekdot di atas sudah pernah saya dengar sebelumnya. Tapi bagi seorang pencerita (story teller) bukan apa yang diceritakan, tapi bagaimana menceritakannya.

Dia juga menyebut gadis idamannya, “Saya suka dengan cewek yang mudah diajak tukar pikiran,  yang ‘mini set’-nya terbuka, jangan maunya cuma Mandiri mandiri, tapi yang bisa terima BCA,  BRI, atau BNI, yang bisa diajak ke Mc-Di untuk beli Aqua. Kalau kamu ready, ayo ke KUA,” ajaknya, bercanda.

Harjanto Halim berkisah tentang tukang sol sepatu dari Damaskus yang naik haji tanpa ke Mekah, tentang Jesus Kristus  yang mengubah air tawar jadi anggur, tentang tata cara penghormatan sesama umat cara Khong Hu Cu, merinci Delapan Jalan Kebajikan, tentang moral membangun rumah ibadah yang megah di tengah penduduk yang miskin dan banyak lagi.

Kisah mengharukan saat dia cerita tentang pemuda kurang cerdas, yang suka bantu orang di pasar, selalu mampir di rumah ibadah dan bilang, “Tuhan ini Owe, Acong” – Belasan tahun, hanya menyebut itu saja, “Tuhan, ini Owe.”  Ya,  itu saja. 

Saat sakit parah dan masuk UGD, Acong tetap berdoa, “Tuhan, Ini Owe”.

Sampai satu ketika, dalam mimpi, dia didekati pria dengan wajah bersih, memegang kepala si Acong, sambil berbisik, “Acong, Ini Owe!” . Dan ketika bangun, Acong sembuh.

Moral cerita : Tuhan tidak mendengar betapa fasih doa kita. Doa yang panjang. Tuhan hanya melihat ketulusan hati kita.

“Tuhan, ini Owe, ” bisiknya.

Hal yang menarik dia cerita tentang Rahwana, Rama dan Shinta. Dengan tragedi yang menimpa mereka bertiga, dalam epos Ramayana ia menyebut, “Rahwana seorang gantelmant, karena dia tidak menyentuh  Shinta meski sudah dalam kekuasaannya sampai Shinta menyatakan bersedia atas kemauannya sendiri. Sedangkan Rama adalah laki laki pecundang, karena tidak mempercayai kesucian isterinya bahkan mengujinya dengan api dan menyakitinya! ”

HARJANTO HALIM mengaku suka makan nasi pakai tangan. Dengan kesuksesannya sebagai pembisnis dia merasai berbagai makanan enak dari berbagai negara di seantero dunia, tapi kesukaannya tetap nasi panas pakai sambel,  ikan teri dan tempe. Makan pakai tangan. ‘Muluk’, menurut istilah Jawa Semarangan.

Dia menuturkan cerita Haji Agus Salim, DIplomat yang fasih tujuh bahasa itu. Dia mengungkap jawaban cerdas yang dijuluki ‘The Grand Oldman’  itu saat dilecehkan sesama politisi, karena makan pakai tangan. Suka muluk juga.

“Saya makan pakai tangan saya sendiri, tangan yang sebelumnya sudah saya cuci. Bersih.  Dan hanya saya sendiri yang menjilatinya. Sedangkan Tuan menggunakan sendok yang sebelumnya dipakai orang lain dan belum tentu dicuci bersih, “ katanya.

Saya bukan perbisnis dan tidak sukses. Tapi tentang nasi hangat pakai sambel, ikan teri dan tempe itu saya juga merasakan yang sama.

Koh Haryanto Halim, terima kasih semua cerita Anda yang memotivasi dan menginspirasi.

Koh Harjanto, ini Owe.

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.