Tak ada yang tahu kapan penyebaran Covid 19 tertanggulangi. Presiden Jokowi meninjau kesiapan rumah sakit. foto: PAN RB
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Meski seluruh dunia dan seluruh kepala negara dibuat sakit kepala karena virus Corona-19, ada saja pihak yang menyalahkan, menggunakan moment duka bersama ini untuk politik dan mengangkat citra diri. Pamer kepakaran seolah paling paham.
Tak ada yang menyangka – kecuali pembuat dan penyebar virus Covid itu sendiri, jika benar – dan itu alangkah jahatnya! – akan luasnya penyebaran virus 19 ini – lebih dari 160 negara dari 200 negara. Hanya negara dari kepulauan kecil, yang terisolir saja, yang tak terdampak.
Maka hanya Tuhan yang tahu sampai kapan virus Corona 19 ini bisa teratasi. Sejujurnya saya mengutip pernyataan Luhut Binsar Panjaitan, elite yang terlibat dalam penanganan virus di negeri kita.
“Hanya Tuhan yang tahu, Ded, “ katanya dalam tayangan wawancara dengan Deddy Corbuzier, di channel Youtube-nya – ketika ditanya kapan pandemi ini berakhir. Wawancara 59:30 menit itu mengungkap banyak hal penanganan pandemi di negeri kita, dan kita sudah cukup beruntung saat ini. Antara lain bangkitnya industri farmasi kita, banyaknya mafia yang diuntungkan oleh pandemi, dll.
Masalahnya kita kurang disiplin. Sebagai orang Kopassus dia melewati banyak pelatihan menghadapi musuh. Tapi Covid musuh yang berbeda sama sekali, karena dia ada di mana mana dan tidak tampak. “Banyak intelektual yang menjadi pemimpin, tapi tidak memberikan contoh yang baik, “ katanya lagi.
Pernyataan tegas yang harus direnungkan kita bersama dari LBP, “negara maju tidak mau negara berkembang menjadi negara maju. Makanya negara berkembang dihajar terus!”.
Saya percaya pada Luhut Binsar Panjaitan. Entah Anda.
Dan seperti kita sadari dan tahu, “nafsu menyalahkan” memang ada pada semua manusia, di semua level. Dan kita tahu dengan menyalahkan, maka pihak yang menyalahkan merasa keren!
Sejak mula banyak yang tak suka Jokowi menjadi presiden. Dengan segala alasannya. Banyak yang tak suka karena dia sipil, karena dia dari Solo, karena dia bukan pengurus partai, karena dari Univ Gajah Mada, karena bukan dari faksi internal partai yang ingin keluarga Soekarno berkuasa.
Mari saya ajak Anda merenungkan hal ringan dengan logika dasar saja : Apakah Anda yakin, bahwa Presiden Amerika, PM Inggris, PM China, Russia, dan Jepang tahu bahwa dampak Covid 19 separah ini? Apakah mereka kompak untuk mengorban ribuan rakyatnya, tenaga medis terbaiknya – menghancurkan ekonomi negerinya di tengah pandemi?
Saya tidak yakin.
Di seluruh dunia, bukan hanya level rakyat jelata yang terdampak langsung oleh bermacam pembatasan akibat penanganan pandemi Covid 19, lantaran marah dan lelah. Melainkan juga para pakar dan elite politisi. Sebagian rakyat di Prancis, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Australia, sama sama menyalahkan Pemerintah. Anda bisa menyimak beritanya di BBC, Deutche Welle, Bangkok Post, Malaysiakini, The Strait Times. Saya bisa menyebut itu, karena saya sudah browsing ke sana.
Belum lagi oposisi di negeri itu, menggunakan kelemahan pemerintah untuk nge-gas, terus mencari kelemahan pemerintah.
Dan sekarang, bahkan di kalangan internal partai pemerintah sendiri, PDIP – juga menyalahkan Jokowi. Mengapa tidak menerapkan lockdown sejak awal.
Terbaru, politikus PDIP Effendi Simbolon menyalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak mau menerapkan lockdown sejak awal pandemi COVID-19. Dia menyandarkan pernyataannya dengan merujuk pada pakar epidemiologi asal Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyebut Indonesia sedang menuju jalur jebakan pandemi yang semakin dalam.
“Pemerintah sejak awal tidak menggunakan rujukan sesuai UU Karantina itu, di mana kita harusnya masuk ke fase lockdown. Tapi kita menggunakan terminologi PSBB sampai PPKM. Mungkin di awal mempertimbangkan dari sisi ketersediaan dukungan dana dan juga masalah ekonomi. Pada akhirnya yang terjadi kan lebih mahal ongkosnya sebenarnya, PSBB itu juga Rp 1.000 triliun lebih ya di tahun 2020 itu,” ujar Effendi kepada wartawan, Sabtu (31/7/2021).
Pertanyaannya, apa antisiapasi pakar terhadap Covid 19. Kalau benar benar pakar seharusnya Covid 19 sudah teratasi. Kalau tidak teratasi artinya kepakarannya harus diuji dan meningkat lagi. Jangan cuma menyalahkan.
“Bahkan seandainya diputuskan lockdown apa kita bisa lockdown” tanya Luhut. Rakyat kita sangat tidak disiplin dan tidak bisa diatur.
Membandingkan Indonesia dan Singapura, dengan populasi 270 juta dengan 5 juta, warga 17 ribu pulau dengan satu pulau, juga salah kaprah, meski dalam bahyak hal kita patut belajar dari negeri mini dan kaya raya ini.
Tak ada jaminan lockdown bisa menuntaskan Corona. dengan bukti negara negara yang menerapkan lockdown tokh kemasukan lagi varian baru. Varian Delta.
Kombinasi pembatasan dan kelonggaran yang dilakukan pemerintah demi kehidupan ekonomi rakyat harus dilakukan, sudah benar. Dengan segala protes dan perlawanannya.
Indonesia khususnya dan dunia umumnya dihuni juga oleh masyarakat yang menganggap Covid sebagai rekayasa dan isu. Warga Madura setengah mati menolak masker. Dan kini kematian beruntun. Mereka tetap tak menyebut akibat Covid 19, melainkan “penyakit yang lagi ramai itu”.
Seperti di Jabodetabek, tiap hari ada pengemumuman kematian di masjid. Dan pergunjingan selalu seputar pada “akibat penyakit yang lagi ramai itu” dan tetap menolak pakai masker. Pasar dan resepsi tetap ramai, tanpa masker.
Itu yang tak diketahui dan dimanfaatkan oleh politisi seperti Effendi Simbolon. Sok keren. ***