Ketakutan yang bisa dikatakan umum dan dimiliki oleh hampir setiap orang. Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang-orang bertahan bekerja di bidang yang tidak mereka sukai, hanya untuk mendapatkan pendapatan yang lumayan.
Seorang ibu tampak merengek ketika tak diperbolehkan mengantri nasi bungkus yang dibagikan cuma-cuma kepada korban kebakaran.
“Rumah saya memang nggak kebakaran, Pak. Tapi saya mau nasi bungkusnya!”
Ketika ditolak, responsnya marah, mengomel sambil terus mengikuti petugas.
Kejadian baru-baru ini yang viral di media sosial mengundang banyak reaksi. Ada yang menertawakan, ada juga yang merasa tidak apa-apa bila cuma nasi bungkus saja yang Ibu itu minta. Toh pihak penyumbang tak akan dirugikan.
Fenomena tersebut sepertinya umum terjadi. Saya dan keluarga pun sempat menyaksikan kejadiannya ketika kami diajak getaway oleh keluarga.
Dua sejoli bermesraan dekat kolam, ketika saya mendampingi si kecil yang hendak latihan renang seperti yang diminta pelatih klubnya.
Keduanya mengamati si kecil yang langsung bersiap dengan gaya bebas sebagai latihan rutin. Beberapa saat kemudian si lelaki mengajak si kecil saya beradu kecepatan renang. Saya cuma senyum-senyum melihat si lelaki yang seperti unjuk pamer kepada teman perempuannya, dengan gaya renang campur aduk.
Bila pengamatan saya sampai di situ saja, kesimpulan saya hanya mereka dua sejoli dimabuk cinta.
Sayangnya ketika keduanya sudah tidak di dalam kolam lagi. Laptop di meja area makan (yang ternyata bawaan mereka) menyuarakan irama musik untuk bergoyang beberapa saat. Di atas meja yang sama puntung rokok dan kulit kacang pun berserakan; yang sayangnya tidak dirapikan seperti laptopnya usai mereka beranjak.
Saya hanya menghela napas untuk kemudian merapikannya.
“Ngapain, itu kan bukan ulahmu?”
“Udah ada petugasnya kok, biarin aja. Itu toh kerjaan mereka sehari-hari.”
“Kita itu customer, sudah sewajarnya dilayani. Bukan ikut sibuk juga.”
Setujukah pembaca dengan komentar awam yang muncul seperti itu?
Di hari lain, di waktu lain. Lagi-lagi saya sedang bersama si kecil ketika sarapan pagi. Ada bapak dan anaknya sedang mengambil nasi, lauk dan sayur dalam jumlah berlebih. Akhirnya tidak termakan semua. Food waste, kesimpulan saya dan si kecil.
Karakter mencoba seluruh menu tanpa terkecuali karena tak mau rugi, pernah saya miliki juga, mungkin juga Anda. Merasa sudah membayar apalagi. Merasa berhak atas apa yang perlu diterima sebagai ganti bayaran tersebut. Pada akhirnya tidak mungkin seluruh varian menu bisa dicocokkan satu sama lain, atau bisa ‘masuk’ tercerna baik ke dalam perut kita.
Kejadian food waste ini juga umum ketika resepsi pernikahan atau ulang tahun. Merasa tak mau rugi karena dapat aneka hidangan gratis, menstimulus orang untuk mencicipi apapun yang disediakan.
Catatan penting saya, tidak apa-apa bila makanan tersebut dihabiskan. Sayangnya sensasi mencoba tak ekuivalen dengan kehendak menghabiskan, tetapi lebih tergantung pada kesukaan atau kelezatan makanan atau minuman itu.
Bila kita menyinggung hak, mencicipi semua jenis makanan mutlak merupakan hak tamu. Namun, di sisi food waste dan kemanusiaan, tak bijak membuang-buang makanan, sementara di belahan tempat lain ada yang menderita kelaparan dan berkekurangan.
Dari kejadian-kejadian di atas, mari kita menganalisa karakter manusia yang melakukan. Mengapa ada orang yang tak mau rugi karena merasa telah membayar? Mengapa ada orang yang perlu dan senang flexing – pamer kepemilikan tertentu; agar tampak terlihat kaya? Mengapa kehendak mendapatkan hak demikian besar, terutama hak customer kadang tak peduli dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi? Mengapa ketika ada sesuatu yang gratis, kehendak mendapatkannya juga tak memedulikan latar belakang ekonomi sosial kita?
Tentang ketakutan akan miskin
Sub judul ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Ketakutan yang bisa dikatakan umum dan dimiliki oleh hampir setiap orang. Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang-orang bertahan bekerja di bidang yang tidak mereka sukai, hanya untuk mendapatkan pendapatan yang lumayan.
“Duh, mau passion apapun yang kalian bilang, yang aku perlu dan pentingkan sekarang adalah uang yang banyak.”
Ternyata urusan miskin dan berkekurangan ini, bahkan menurut PBB masih menjadi pekerjaan rumah dunia.
Kemiskinan terkait dengan kurangnya pendapatan dan sumber daya produktif untuk memastikan mata pencaharian berkelanjutan.
Kata berkelanjutan ini nyata menunjukkan terjaminnya keamanan secara ekonomi dengan pekerjaan yang memberi penghasilan yang bisa diandalkan, meski situasi kerja, beban kerja belum tentu menyenangkan.
PBB mengungkapkan lagi, bila seseorang dalam kondisi miskin sangat mungkin terjadi kelaparan, kekurangan gizi, dan terbatasnya akses terhadap pendidikan dan layanan dasar, terutama kesehatan yang sangat krusial. Efek lain terjadinya diskriminasi dan pengucilan sosial serta terbatasnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap tindak pengambilan keputusan yang sesungguhnya menjadi hak warganegara.
Dengan kata lain, tetiba hak yang seharusnya menjadi milik kita menjadi terbatas atau secara tak langsung dibatasi.
Ternyata, ketika saya membaca beberapa referensi, pikiran manusia sendiri yang membentuk bagaimana pandangan manusiawi kita kepada kekayaan dan kemiskinan.
Lazim terjadi, ketika berhadapan dengan orang yang lebih mampu dari kita, benak langsung membuat kesimpulan orang ini kompeten, tetapi tidak hangat atau ramah kepada orang lain. Perasaan yang segera muncul adalah iri hati kepadanya.
Sedangkan, bila berhadapan dengan yang lebih kurang mampu, benak membuat kesimpulan, ‘ah mereka nggak kompeten, nggak punya daya saing, karakternya pasti yang bikin dia susah, mungkin saja niat mencuri’ Perasaan yang segera mengikuti adalah ketidaksukaan kepada orang tersebut, bahkan mungkin mengganggap mereka tidak ada atau tak setara sebagai manusia.
Dr Keetie Roelen peneliti bidang proteksi sosial dan kemiskinan, mengungkapkan Universitas Oxford telah melakukan riset dari Tiongkok hingga Inggris bahwa orang-orang yang terjerat kemiskinan, termasuk anak-anak mengalami gangguan harga diri dan tidak percaya diri.
Sayangnya kebijakan yang dilakukan hampir setiap pemerintah dalam merespons Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yaitu mengentaskan kemiskinan dalam segala bentuk di tahun 2030, tidak sampai menyentuh perbaikan kesehatan mental masyarakatnya.
Fokusnya hanya pada perbaikan perekonomian negara dan pengembangan dan kemajuan bidang pendidikan saja. Sehingga tak heran, mental yang kemudian terbentuk hanya fokus pada ‘dengan pendidikan tertentu, dengan punya uang; saya tidak malu dan rendah diri lagi. Saya bisa dapat hak yang selama ini sulit saya peroleh.’
Soal karakter yang lalu bergeser menjadi karakter pihak yang dahulu meremehkan, seharusnya tidak menjadi temuan yang mengejutkan. Atau, dengan kata lain status ekonomi dan sosialnya berubah, tetapi mentalnya tetap miskin.
“Dulu, waktu kami kecil; nggak mungkin kami bisa begini begitu. Sekarang kami sudah punya uang, anakku tak boleh mengalami kesulitan seperti dulu.”
Dendam terhadap kemiskinan dengan berbagai konsekuensi tidak menyenangkan yang dahulu diterima mendorong banyak orang tua lebih mementingkan kedudukan ekonomi yang lebih baik dalam bersikap dan mendidik asuh anak, daripada penanaman karakter baik itu sendiri.
Beberapa ahli psikologi dan pengasuhan menemukan, ada hal-hal yang bisa diajarkan kepada anak untuk menghargai posisi dan situasi baik milik mereka sekarang.
1. Merasa berkelimpahan tidak terbatas hanya pada uang
Obsesi kepada uang akan terus pada posisi tak pernah puas, karena tak terbatas. Akan tetapi hidup manusia senyatanya justru tidak berkelimpahan akan waktu. Waktu sangat terbatas, dan terus berjalan tak pernah menunggu.
Atau juga tidak berkelimpahan akan hubungan yang baik dengan seseorang yang benar-benar teman kita, yang bisa saling mendukung dan membantu.
Tentu saja, hidup kita juga tidak berkelimpahan akan kekayaan alam yang diberikan cuma-cuma oleh Tuhan dan semesta. Cahaya matahari, sumber air, pemandangan; bukankah hal itu yang kita rindukan semasa lockdown pandemi covid-19?
2. Belajar ‘terbuka’ dan melihat peluang dalam setiap peristiwa
Pekerjaan tertentu mungkin sangat menjamin hidup, meski memberi beban psikologis yang berat. Bila fokus hanya kepada pekerjaan itu saja, tanpa sadar kita menutup diri dari kemungkinan mencoba peluang-peluang, karena hanya berkonsentrasi memelesatkan diri cepat menjadi kaya.
Tentu saja ini berlaku kepada anak kita yang masih mencoba-coba dan mengeksplorasi berbagai peluang pekerjaan. Tidak disarankan untuk orang dewasa yang sudah di usia tidak produktif karena sangat berisiko bila salah mengambil keputusan.
Minimal dua karakter itu yang bisa kita tanamkan baik kepada diri sendiri, maupun ke generasi selanjutnya untuk memiliki karakter yang lebih baik, tidak terus merasa berkekurangan
Pada akhirnya, saya jadi bisa mengambil kesimpulan seperti judul tulisan ini.
Bahwa merasa berkekurangan pada akhirnya tergantung mental seseorang. Bukan pada situasi berkekurangan yang sesungguhnya.
Karena, berapa banyak orang yang justru masih dalam situasi berkekurangan, malah mau berbagi meski sedikit dari apa yang dimilikinya?