Sebuah Esai : Makna Demokrasi Bagi Penulis

Seide.id – Ketika saya hendak menulis tentang tema Makna Demokrasi Bagi Penulis, sembari menekan tuts di laptop, pikiran saya menerawang dan menari-nari ke beragam ruang tanpa batas yang ada di benak. Imajinasi kemudian berselancar ke ujung-ujung jemari untuk menuturkan apa yang sudah saya rasakan di dalam kiprah saya sebagai penulis cerita pendek, novel, puisi maupun beragam artikel.

Selama kurun waktu hampir empat puluh tahun saya menekuni dunia literasi dengan kepasrahan total bersama harapan, saya berangan kelak apa yang saya lakukan itu bisa dibaca oleh siapa saja dan memberikan kebahagiaan bagi mereka.

Saya kemudian bertanya pada diri sendiri, apakah selama hampir 40 tahun lebih menekuni dunia tulis-menulis termasuk sebagai jurnalis, saya sudah menemukan apa arti dari makna demokrasi di dalam rangkaian kata yang saya buat? Tanya itu menjadi bias sebab saya harus mencari jalan pulang untuk meniti jejak kepenulisan yang sudah saya lakoni dengan santai bercampur serius. Ya, saya mengenang kembali mengapa saya sampai mau menerjunkan diri menjadi seorang penulis baik fiksi atau non fiksi seperti yang dilakoni ayah saya Gerson Poyk, mengapa pula saya harus memaksakan diri untuk serius terjun di dunia itu, padahal jika saya pergi ke berbagai perkumpulan penulis, bahkan hingga ke luar negeri untuk memberikan pelatihan kepenulisan, nama belakang ‘Poyk’ yang saya sandang, selalu dikaitkan dengan nama ayah saya, dan yang mereka tanyakan selalu tentang karya-karyanya.

Apakah saya merasa sedih dengan itu semua? Tidak, saya bangga dengan pencapaian yang telah dicapai ayah saya. Menjadi anak seorang penulis yang kerap terkubur oleh nama besarnya, tidak membuat saya patah arang dan terpuruk lalu memupuskan harapan dan cita-cita saya untuk berkelana di ladang kata-kata. Saya memiliki jalan sendiri dan ayah saya pun pastinya demikian.

Demokrasi di dalam mengambil keputusan sebagai penulis yang diawali dengan menjadi jurnalis itu, pada akhirnya semua berada di dalam genggaman tangan dan kebebasan saya untuk menentukan pilihan berada di kekuasaan saya. Dari saya, kepada saya dan untuk saya, semua bergulir tanpa paksaan. Itulah kebebasan yang mengalir mengikuti waktu yang berjalan cepat di hadapan.

Ketika ayah meminta agar saya menjadi seorang guru, saya menolaknya. Ada alasan terselubung di sana, menurut saya dengan menulis kelak akan menggiring saya ke pemberian ilmu secara merdeka, dan proses pemberian ilmu tersebut bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Jurusan jurnalistik serta Sastra Indonesia akhirnya menjadi pilihan dari demokrasi yang saya anggap tidak bisa diikutkan oleh kehendak seseorang untuk mengikuti kemauannya, meski itu ayah saya sekali pun.

Dalam pemahaman lugas saya, demokrasi merupakan sistem pemerintahan di mana hukum, kebijakan, kepemimpinan, dan usaha besar dari suatu negara atau pemerintahan lain secara langsung atau tidak langsung diputuskan oleh rakyat. Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘Demos’ dan ‘Kratos’. Demos artinya rakyat/ khalayak, dan Kratos berarti pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang terpilih.

Demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Dalam demokrasi, setiap warga negara diperbolehkan untuk berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Setiap negara menganut sistem pemerintahan yang berbeda. Di beberapa negara, istilah demokrasi banyak digunakan sebuah negara untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang dianut. Indonesia menjadi satu di antara negara yang menganut sistem pemerintahan secara demokrasi.

Sebagai penulis yang menyimak arti kata demokrasi tersebut, kemudian memahaminya bagai cerita fiksi yang sesungguhnya ada dan tiada, dia menukik pada jalan panjang tak berujung. Saya menapakinya dengan lenggang merdeka dari pemikiran yang bebas juga lepas tanpa tekanan.

Menulis dan terus menulis dengan beragam genre, menjadi pilihan yang tak dibebani oleh ruang dan waktu. Ayah saya berjalan dengan gayanya sendiri dan saya pun demikian. Ada kualitas yang terbentang di antara karya-karya kami, idealisme pun memiliki jalan yang berbeda. Saya lebih realistis, menulis dengan kesepakatan yang terkadang harus dipikirkan dengan rasionalitas berdasarkan fakta. Sedangkan ayah saya, ia tetap seperti dulu. Bertumpu pada kekuatan kata, filsafat dan bacaan yang menjadi santapan dan kekuatan di dalam tulisan-tulisannya.

Bersama idealisme juga demokratisasi di dalam berkarya, dan menyingkirkan semua hal berkaitan dengan hedonisme kehidupan serta menyelami derita di kedalaman kata yang dirangkainya dengan kesungguhan harap hanya pada Dia Sang Pemilik Semesta, itulah yang dilakoni ayah hingga akhir hayatnya.

“Aku berkarya untuk kemanusiaan, inilah pelayananku yang paling hakiki dari rangkaian kehidupan yang kulalui,” begitu katanya selalu padaku.

Terpuruk dalam lingkar perekonomian yang ia alami sejak serius menekuni sastra sebagai pilihan hidup, barangkali berakar dari beragam masukan bahan bacaan yang dibacanya selama puluhan tahun. Padaku ayah selalu berkata, makna demokrasi bagi seorang penulis sejatinya adalah pelayanan untuk terus melahirkan karya yang berguna bagi bangsa dan negara ini, sampai akhir hayat, sampai jiwa terlepas dari tubuh.

Ayahku kemudian kerap mengaitkannya dengan ucapan-ucapan Immanuel Kant sebagai contoh, bahwa ada tiga proses yang harus diketahui oleh umat manusia, semua itu dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu proses sensasi (sense perception, intuition, Indra), pengertian (understanding) dan akal budi (reason). Sensasi ( indra ) menyerap informasi tentang dunia, tetapi penyerapan hanya bisa terjadi karena adanya kemampuan pengertian yang mengkombinasikan informasi itu ke dalam kategori pengertian. Kemampuan pengertian (understanding) memiliki pola-pola dasar dan ia beroperasi menurut pola-pola dasar itu.

Dengan meneliti pola-pola dasar tersebut, kita mengetahui cara atau jalan bagaimana dunia dapat dimengerti. Kita juga bisa mengetahui bagaimana seharusnya dunia menghadapi pola-pola pengertian. Dengan mempergunakan term ‘transendental’, Kant, memasukkan kondisi proses mengetahui kita (condition of our knowing) dan pola-pola operasi pikiran (mind) kita. Lalu dengan term ‘transedental idealism’ berarti dunia menghadapi pola-pola pengertian kita.

Meski saya harus berpikir akan makna terdalam dari obrolan ‘ngalor-ngidul’ bersama ayah, percakapan panjang tentang dunia sastra dan filsafat ringan bersamanya, mengiring saya pada dunia khayali yang mampu membawa saya pada kekuatan dan harapan serta kerinduan yang selalu membuat gelegak rasa dalam dunia kepenulisan yang saya tekuni kian bertambah subur. Dari sisi yang berbeda, saya melihat banyak ketidakadilan, baik itu dalam hal status sosial, pergelutan di dalam mencari nafkah, kesehatan, dan tragedi yang absurd.

Menulis pada akhirnya membuat saya berjalan pada kesendirian yang menguatkan sisi kemanusiaan saya. Namun kesadaran kemudian muncul, menjadi seorang penulis hanya dengan mengandalkan zone di ranah imaji dan pikiran subyektif tanpa berusaha masuk ke sisi terdalam dari kehidupan itu sendiri, buat saya rasanya tak mungkin.
Di negeri dengan beragam suku dan adat istiadat juga agama ini, saya rasa hanya fiksi yang bisa bebas bermain di ranah kata. Itu pun si penulis musti merangkainya dengan kehati-hatian yang fatal.

Saya teringat pada Pramudya Ananta Toer, ruang sunyi yang menghasilkan jalinan kata dengan beragam kisah yang pada akhirnya membawa ia pada beragam tuduhan ‘kiri’ bernada politis, orang-orang yang suka padanya tetap mencari jalan untuk memangkas kreativitasnya di dalam berkarya, dan pulau Buru menjadi bagian dari kisah kelam yang harus ia tapaki hampir di sepanjang usianya. Meski demikian, ia tidak menyerah, ruang sunyinya menggiring runtutan imajinasi hingga melahirkan beragam karya fenomenal yang mengguncang Indonesia juga dunia.

Lalu luruhkah semangat saya ketika tahu kekuatan ayah di dunia kepenulisan kian bertambah kuat dan ia menekuninya tanpa berharap imbalan dari siapa pun termasuk pemerintah, padahal hampir di semua karyanya ia membawa nama Indonesia Timur sebagai tanah kelahiran yang dicintainya? Tidak. Demokrasi di dalam dunia kepenulisan yang saya pijaki, terus berjalan tanpa hendak untuk berbalik ke belakang.

Pola saya berbeda dengan ayah, mungkin ini yang disebut sebagai dunia sastra pop dengan diksi ‘mengais rejeki dari kata’. Bukan hanya untuk mengeruk keuntungan dari tulis-menulis yang saya sasar, saya bepikir rasional bahwa kehidupan yang saya jalani sebagai manusia, tidak melulu diisi dengan filsafat dan beragam aroma khayali yang berujung pada sasaran mercusuar untuk memperoleh penghargaan dari karya-karya yang sudah diluncurkan. Ya, saya lebih pada kenyataan yang ada, kembali pada ucapan ayah saya bahwa di saat perut lapar, maka segala yang jahat akan berkelindan di benak kepala, ketika perut kenyang, harga diri pulih kembali. Makna dari ucapan itu membuat saya mengikuti nalar yang ada di benak.

Menurut saya duduk, membaca, menulis dan berharap honor dari tulisan adalah waktu yang terbuang dengan sia-sia, kita harus bekerja meski itu melalui kata, meski juga tanpa perhatian dan bantuan frontal dari sang penguasa.

Prinsip saya selama hayat masih dikandung badan, kreativitas harus terus meluncur dalam beragam bentuk, dengan demikian, kata-kata berupa induk kalimat, anak kalimat dan cucu kalimat yang menari-menari dalam tarian jemari lalu mengerucut pada kisah-kisah dengan gaya kepenulisan yang menurut saya asyik dan perlu dibaca, pada akhirnya menemukan takdirnya sendiri. Ayah merelakan gaya menulis saya dengan tidak memasukan beragam pendapat yang menurut saya bikin puising kepala. Dan hasilnya, selama 40 tahun demokrasi yang saya lalui di dalam alur perjalanan kepenulisan saya, kebebasan berekspresi itu melingkupi hampir seluruh perjalanan karir saya. Dari segi penghasilan secara profesional, naik turun seperti gelombang di lautan, kadang melambung tinggi (menurut ukuran saya) kadang biasa-biasa saja, bahkan kerap juga setelah tulisan jadi tidak dibayar.

Beberapa penghargaan pernah saya dapati, namun masih dalam standar skala ‘penerbitan’ alias lokal, bukan nasional. Entah, penilaan itu erat disandangkan dengan nama ayah yang selalu memperoleh penghargaan kelas nasional maupun internasional, atau memang saya berkarya sesuai dengan kriteria yang saya tentukan untuk diri sendiri, tidak ‘ngoyo’ namun memberikan penghasilan yang pasti.

Dan perjalanan kehidupan bergulir bersama lajur ketekunan yang telah tertera di lintasan waktu. Usia menua dengan sendirinya. Begitu juga dengan saya dan ayah. Keberadaan ayah masih tetap sama, di rentang perjalanan hidupnya, ketekunan yang tak tergoyahkan dari pilihan hidup yang ia lakoni sebagai seniman sekaligus sastrawan, kian menguatkan tekadnya untuk terus melangkah hingga ajal menjemput untuk bergelut di dunia itu.

Perhatian pemerintah untuknya tidak berjalan simultan seperti negera-negara lain yang sangat memperhatikan kehidupan para penulis khususnya sastrawan mereka. Perlindungan terhadap keberlangsungan dari sebuah karya yang dilahirkan berdasarkan beragam pemikiran dari kompilasi kehidupan marginal, hanya berlangsung sesekali saja. Ayah berjalan dalam kepastian dan angan yang sesungguhnya merupakan sebuah mimpi yang terkadang nyata namun lebih banyak tidak nyata. Demokrasi sebagai penulis yang dipilihnya, menggiring ia pada lakon drama kehidupan dari sebuah skenario Sang Pencipta dengan tanya, sampai kapan ia kuat bertahan di dunia imajinya. Dan saya pun berada di jejak yang sama. Kami sama-sama menjadi mahluk yang berserah pada apa yang akan terjadi di hadapan kami. Mengais rejeki dari kata menjadi pilihan mutlak yang tak perlu lagi kami sesali.

Ayah kemudian berjalan sendiri dengan tidak memasrahkan kehendak semata-mata pada perhatian pemerintah. Saya pun demikian. Kami memasuki belantara dunia kata dengan kepasrahan total dan harapan pasti bahwa seluruh karya yang kami tulis akan menemui takdirnya sesuai dengan alur pemikiran yang berkembang biak di dunia kata-kata yang kami cintai.

Harapan kami siapa pun yang membaca dan menyimpannya di lubuk kalbu yang terdalam tentang kisah-kisah yang kami tulis, itu merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi sebagai penulis telah kami lakoni dengan kepasrahan total di tangan para pembaca. Meski karya-karya yang ayah dan saya tulis menumpuk dalam bentuk kliping koran dan simpanan kata-kata yang ada di laptop masing-masing, kami berharap kelak bisa menjadi novel, kumpulan cerpen atau kumpulan esai yang berupa wujud fisik yang bisa dibawa-bawa menjadi kenangan bahwa beragam kisah yang tertuang melalui kata-kata, itu merupakan kenangan epik yang memiliki kesan tersendiri, kesan meski teknologi dan dunia milenial telah menggilas beragam kisah dalam bentuk kertas yang sudah dianggap usang.

Demikianlah, waktu bergulir bersama perjalanan usia, memangkas semua yang pernah ada, namun kenangan selalu tertancap di benak ingatan, hingga nafas berhenti dengan sendirinya. Melalui kisah ini saya ingin menuliskan beberapa larik puisi tentang perjalanan kepenulisan saya dan ayah.

Kata dari Sebuah Kisah

Adakah tanya yang selalu menanti jawab
pada catatan pedih membaur dalam urai kata dari sebuah kisah
ketika hati gulana menanti apa yang ada namun tiada
jawab hanya berupa kecup platonik dari mimpi tak berseri
kami melarung kata pada jemari
bertutur tentang beragam hal yang terbentang di hadapan

Terkadang kenyataan berbalut derita tanpa kata kata
terkadang bahagia mengapit senyum pabila suka menggema
memanggil tawa yang bersembunyi di sudut bibir
berkisah pada runtunan kalimat baris demi baris
meski hanya euforia sekejap, nada musik di hati tak memupus rindu
kembali berselancar pada diksi berbaur metafora

Kami berpadu di taut demokrasi pada ranah literasi
gencar memaknai kehidupan dari pagi hingga mentari terbenam
kau, ayahku selalu berkata, “kata tak pernah mati terkecuali ada yang mematikan”
dan lakon tetap mencari jalan untuk menguak dari selaput ingatan
berkata melalui lirih suara; kita setara
tak lekang oleh waktu meski elegi berkumandang dalam senyap ***

Oleh: Fanny Jonathans Poyk

Sastra, Kebijaksanaan dan Empati Jiwa

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis