Jangan membantah, mengajak adu argumentasi, atau menyalahkan. Lebih baik kita bertanya kepada diri sendiri, merenungkannya, lalu menjawabnya dengan kejernihan hati.
Tidak bisa dipungkiri, bahkan semua orang mengiyakan, mengakui, dan membenarkan. Gempa bumi itu jauh lebih kuat dan dahsyat, soal kerusakan yang ditimbulkannya, ketimbang gempa jiwa.
Lihat sebaran kerusakannya. Tidak sebatas rumah, gedung bertingkat, dan jembatan yang rusak parah. Tidak hanya kerugian materi, tapi juga korban luka dan jiwa.
Gempa bumi yang dahsyat itu mampu menimbulkan teror kepanikan dan ketakutan yang luar biasa, bahkan trauma jiwa yang menahun. Apalagi gempa bumi yang dibarengi gelombang tsunami.
Itu berbeda dengan gempa jiwa. Berjuta orang menganggapnya hal biasa, menyepelekannya alias berasa tidak ada artinya, bahkan menganggapnya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti.
Padahal, sejatinya, gempa jiwa itu lebih dahsyat dari gempa bumi yang terdahsyat.
Ketika kita mulai menyepelekan keimanan sendiri, sebenarnya gempa jiwa itu mulai terjadi dan berlangsung dalam hidup kita.
Dari menyepelekan, tak peduli, masa bodoh, mendikte Allah, kehilangan rasa bersyukur, sehingga kita tidak percaya kepada-Nya lagi.
Gempa jiwa itu berproses. Lama kelamaan semakin dahsyat dan mencengkeram jiwa kita.
Kita mudah dikejar oleh ketakutan yang tidak pasti–takut tidak diharga hingga takut miskin, yang membuat kita berani melakukan kejahatan, asalkan kita kaya raya dan dihormati.
Sudah seharusnya dan yang utama bagi umat beriman adalah takut akan Allah. Bukan takut pada ancaman dunia.
Ketika kita mampu mensyukuri gempa bumi sebagai rencana indah Allah, kita melihat hikmah dari peristiwa itu.
Allah menyelamatkan kita dari bencana gempa bumi agar kita tidak mengeksploitasi alam dan merusaknya. Tapi agar kita mengakrabi, merawat, dan mengelola alam dengan baik.
Begitu pula gempa jiwa, itu tidak bakal kita alami jika hidup kita dinapasi dengan doa untuk taat dan setia kepada Allah.
Dengan takut akan Allah, kita diajak berani hidup jujur dan benar sesuai kehendak-Nya.
Hidup berkenan bagi Allah adalah persembahan pujian dan syukur kepada-Nya.
Dari Allah kembali kepada Allah.