Lauk pauk apa saja menjadi lebih sedap bila disandingkan dengan buah pete . Foto Heryus Saputro Samhudi.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id – Percaya nggak percaya, di zaman normal ataupun masa paceklik, ada harga komoditi pasar di Indonesia yang selalu (sekali lagi: selalu) naik – bahkan berlipat harga hari-hari biasa, di hari-hari terakhir tiap Ramadhan, yakni melambungnya harga sayuran yang bernama pete atau petai (parkia seciosa)
Pastilah fenomena yang langsung menyangkut hajat dapur para ibu rumahtangga ini, tak pernah jadi bagian pertanyaan anggota DPR-RI Komisi Ekonomi kepada Menteri Perdagangan RI saat-saat ada hearing atau dengar pendapat. Pastilah tak juga jadi catatan khusus Mbak Menteri Sri Mulyani ataupun Mas Jokowi – presiden kita ihwal “Kok bisa-bisanya, dari zaman ke zamqn, harga pete selalu naik tiap menjelang Lebaran? Kok nggak pernah ada pakar ekonomi makro n micro Indonesia yang menelitinya dan bicara kepada publik?”
Barangkali ini karena cuma soal ‘pete’, jenis sayur dan lalaban Indonesia yang remeh temeh. Bukan hal besar dan berskala internasional yang layak dibicarakan dan diliput TV internadional, semidal soal flexing jeep Unicorn ataupun tas tangan bermerk internasional.
Ibarat pepatah, pete memang “dibenci sekaligus dirindu”. Dibenci, ya karena itu tadi…biji buahnya yang bila dimakan akan menyebabkan urine kita bau pesing menyengat dan tinggal lama di WC ataupun kamarmandi. Karenanya, tiap saya habis makan dengan pete, sebiji atau sepapan akan sama baunya, istri saya akan selalu wanti-wanti bilang: “Hayo…! Jangan pernah lupa siram bekas piss dan pub dengan cairan karbol banyak-banyak…!” Saya mengangguk-angguk. Manut. Setuju, karena punya WC dan kamarmandi yang bersih itu merupakan bagian dari pelajaran kesehatan yang amat dianjurkan. Bersih itu bukan cuma indah, tapi juga bagian dari iman kita kepada Sang Khalik.
Makan pete juga membuat bau tak sedap yang khas akan segera menguar dari.mulut kita, dan segera tertangkap oleh siapapun.orang yang kita temui serta ajak bicara.Bayangkan bila kita akan.menemui seorang selebritas, atau (siapa tahu) dipanggil.menghadap Presiden untuk dimintai.pendapat atau masukan ihwal sesuatu menyangkut hajat bernegara, maka sungguh tak elok bila saat berangkat/dijemput dari rumah kita baru saja makan pete. Bisa-bisa di TKP akan muncul ucapan, “Hayo…, panjenengan abis mangan pete, ya…?”
Tersebab itu, mungkin, banyak orang mengaku tidak suka pete, hi…hi…hi…!
Tapi seperti juga di dunia lain , selain yang tak suka (atau yang ja’im dan pura-pura tak suka) penggemar pete juga berlaksa jumlahnya. Saya misalnya, sebelum menulis artikel ini, beberapa hari lalu menggelar ‘survey’ kecil-kecilan kepada teman dekat dan kenalan, baik bertanya langsung atau tanya melalui medsos, lebih kurang 50 orang responden (ada juga aktres, mantan menteri, dan selebritas, lho!). Hasilnya? 43 orang teman/sohib/responden menyatakan suka makan pete dan selebihnya (dengan berbagai alasan) menyatakan tidak suka atau kurang suka pete.
Apakah hasil ‘survey’ saya ini layak dipercaya? Dari kacamata akademis, pasti tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Tapi fakta di lapangan, pete adalah jenis sayur-mayur paling dibeli orang di pasar modern seperti supermall ataupun di pasar becek pinggir kampung.
Bang Sanip warga Curug Atas yang tiap musim selalu bersepeda keliling kampung sekitar Gunung Sindur, Bogor dan Serpong Tangsel, mencari dan membeli pete dari lahan warga dan mwnjualnya lagi ke Pasar Parung mengaku selalu kewalahan memenuhi permintaan bos pemilik lapak sayur. Permintaan nyaris tak sebanding dengan ketersediaan, apalagi di masa-masa peak season model bulan Ramadhan ini.
“Jangan tanya di hari-hari dekat Lebaran. Harga pete yang kini cuma Rp 7000/papan, bisa naik 2 x lipat bahkan lebih,” ungkap Resti. Dan orang yang perlu tetap membelinya walau dengan kata, “Mahal amat sih, Bang…!” Dan si Abang penjual.paling berkomentar, “Barangnya langka, Bu…!”
Pernahkah ada survey ihwal kenapa pete mahal di saat menjelang Lebaran? Berapa suka orang Indonesia akan Pete? Jangankan Lembaga Survey Nasional, bahkan penelitian mahasiswa akan hal ini juga tak ada yang bisa saya baca. Sementara yang pasti, masyarakat membeli pete bukan cuma untuk dilalap, tapi juga untuk bagian penyedap sayur lodeh, tumis kentang dan daging, pete bakar resto Padang dan jenis sayur lainnya yang biasanya jadi teman makan ketupat atau lontong saat Idul Fitri.
Ini mengapa pete jadi mendadak mahal, dan Dewan Ekonomi Nasional tak pernah mempersoalkannya, ha…ha…ha…!
Sedia payung sebelum hujan, begitu kata pepatah. Maka Resti pun sedia pete sebelum Lebaran. Caranya? Sila blusukan ke kampung-kampung, cari halaman rumah warga pemilik pohon petai yang sedang berbuah. Tanyakan, beraoa dia biasa menjual hasil panen per papan? Bayar sebanyak yang kita inginkan, dan ambil buah saat si pemilik panen. Kupas semua biji buah, cuci bersih, tempatkan di plastik bening dalam wadah dan masukkan ke lemari pendingin. Pete kupas akan tetap seperti itu saat akan dilalab atau disayur Lodeh
Tapi buat apa nyimpen pete sebanyak itu? Berapa panci sayur lodeh atau kuliner berimbuh pete ingin diolah? Tak banyak. Sekadar masak buat kebutuhan pasutri hari itu. Lalu, sisa pete yang banyak itu? Buat anak-anak yang sudah punya rumah tangga sendiri, atau tetangga, atau sedulur dan teman yang mau masak sayur saat Lebaran.
Atau Anda ingin jadi pedagang pemsuplai pete segar jelang Lebaran? Sila saja. *
11/04/2023 pk.17:54 WIB.