SEIDE – Arab Saudi Meredam Toa

SM

Supriyanto Martosuwito

Kementerian Urusan Islam Arab Saudi telah memberlakukan pembatasan penggunaan pengeras suara (speaker) di masjid yakni hanya mengizinkan penggunaan pengeras suara untuk Azan dan Iqamat (Ikamah).

Dikutip dari Gulf News, Selasa, 25 Mei 2021, surat edaran itu telah diinstruksikan oleh Abdul Latif Al Sheikh selaku Menteri Urusan Islam Saudi, ke semua masjid di seluruh Kerajaan.

Perintah itu untuk membatasi penggunaan pengeras suara hanya untuk Azan dan Ikamah serta menurunkan volume pengeras suara ke tingkat sepertiga.

Azan adalah panggilan pertama, sedangkan Iqamat adalah azan kedua, yang menunjukkan Imam telah mengambil tempatnya menghadap ke arah Ka’bah dan Salat akan segera dimulai.

Membaca berita dari laman Pikiran Rakyat dot kom itu saya sungguh berharap,  agar pengelola masjid dan mushala di seantero Indonesia bisa mengikuti Kementrian Urusan Islam Arab Saudi. Sebab, imbauan dari Kementrian Agama RI dan Dewan Masjid Indonesia, sejak 1978 hingga kini,  tak digubris. Semoga imbauan pemerintah Kerajaan Arab Saudi, sebagai negeri Tanah Suci mereka tanggapi.

Meski ada rasa skeptis juga,  sebab tak jarang banyak muslim Indo yang “lebih Arab dari Arab”. Gairah keagamaannya  sudah masuk taraf menganggu lingkungan. 

Urusan speaker masjid dan mushala sungguh pelik. Kebisingannya sudah tahap sangat menganggu.Memekakkan telinga. Tapi bagi “Islam baru” itu menjadi bagian syiar yang mengaitkannya dengan keyakinan. Dakwah Islam. Mempersoalkan Toa masjid/mushala sama dengan mempersoalkan Islam. Bisa jadi kerusuhan bernuansa SARA.

DI NEGERI JEPANG,  Tsunetaro Nakatani tentulah tak menyangka bahwa TOA Corporation yang didirikan pada tahun 1934 akan menjadi bagian dari syiar Islam, khususnya di Indonesia.  

TOA Electronic Manufacturing Company, perusahaan yang memproduksi pengeras suara dan mikrofon dibela mati matian oleh mereka yang menyebut dirinya pembela Islam dan pembela asma Allah. Produk TOA jadi “beragama”. 

Menurut Wikipedia, pada tahun 1945, pabrik TOA luluh-lantak akibat serangan udara sehingga dipindahkan ke Tokushima, lalu kembali lagi ke Kobe pada tahun 1947 bertempat di Rumah Sakit Kobe. 

Pada tanggal 20 April 1949, nama perusahaan ini diubah menjadi TOA Corporation dengan modal 500 ribu yen dan 12 pekerja. Pada tahun 1954, TOA memproduksi megafon listrik pertama di dunia. Pada perhelatan Olimpiade Musim Panas 1964 di Jepang, perangkat TOA dipasang di 31 lokasi olimpiade.

Pada tahun 1970-an, TOA Corporation mulai melebarkan sayapnya ke mancanegara seperti Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan, Taiwan, Kanada, dan Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya, perusahaan ini berinovasi dengan memproduksi amplifier nirkabel, mikrofon, pengeras suara, sistem CCTV, sistem karaoke, dan sistem telekonferensi. Perusahaan ini mendapat sertifikat ISO pada tahun 1992.

Saya tidak tahu kapan TOA mulai masuk ke Indonesia. Setahu saya foto foto Bung Karno berpidato di area terbuka speaker  Toa menyebar di mana mana.  

Lebih tidak tahu lagi,  sejak kapan TOA “masuk Islam”. Jadi bagian syiar Islam. Menjadi bagian dan perangkat rumah ibadah umat muslim. 

Sebagai remaja Islam di penghujung 1970an, saya pernah membaca risalah bahwa pengeras suara haram hukumnya dalam Islam.  Mendengarkan adzan dari radio dan teve haram. Dalilnya, suara adzan dari speaker (TOA), radio dan teve bukan suara asli manusia, bukan suara makhluk ciptaan Allah SWT. 

Radio dan teve pernah jadi produk haram di sejumlah pesantrean dan dipertahankan oleh sebagian muslim madzab tertentu hingga kini. 

Speaker Toa kini ada di mana mana. KH Zaenuddin MZ adalah ustadz kondang yang meroket namanya berkat ceramah yang dikasetkan, diradiokan dan di-speaker -Toa-kan di masjid masjid dan mushala di seantero Tanah Air. 

Saat mengawali gerakan pendidikan Islam modern, apa yang dilakukan para  pendiri Muhamadiyah juga pernah diharamkan. 

Gerakan Muhamadiyah mengawali berdirinya lembaga sekolah dengan menghadirkan murid di ruang kelas, siswa duduk di bangku dan menggunakan meja, memakai baju ala anak anak HIS – MULO dan guru mengenakan kemeja, dasi bahkan jas.

Kalangan ulama tradisional masa itu menyebut lembaga sekolah seperti itu haram hukumnya. Dalilnya, “barang siapa meniru niru suatu kaum maka dia menjadi bagian dari kaum itu”. Sedangkan sekolah Islam ala Muhamadiyah pra Kemerdekaan meniru gaya sekolah Belanda. Sekolah kaum Kafir. Haram! 

Tapi lihatlah sekarang. Modernits pesantren ditentukan oleh banyaknya produk produk kafir di dalamnya, sebagai fasilitas pendukung belajar mengajar.

Nampaknya, dalam Islam,  perubahan hal hal yang haram menjadi halal –  begitu pendek. 

Di ARAB SAUDI surat edaran mengatur pengeras suara di masjid  didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad (SAW) yang berkata:

“Sesungguhnya! Anda masing-masing memanggil Tuhannya dengan tenang. Yang satu tidak harus merepotkan yang lain dan yang satu tidak harus meninggikan suara dalam pelafalan atau dalam doa di atas suara yang lain”.

Aturan tersebut juga didasarkan pada fatwa oleh sebagian besar ulama Islam senior seperti Sheikh Mohammed bin Saleh Al Othaimeen dan Saleh Al Fawzan, bahwa pengeras suara di masjid hanya boleh digunakan untuk Azan dan ikamah/ Iqamat.

Surat edaran ini sudah diunggah di akun Twitter @Saudi_Moia pada 23 Mei 2021.

Meski begitu, di sini, saya yakin seyakinnya, masih ada saja pengelola masjid untuk mempertahankan kebisingan masjidnya, mushalanya, pada sebelum adzan dan iqamat serta sesudahnya,  dengan  dalih yang dibuatnya sendiri. Dalil improvisasi. Kearifan lokal.

Dan saya tidak tahu apakah almarhum Tsunetaro Nakatani di Tokyo senang atau sedih karena itu. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.