SEIDE, Isu Sektarian dan TKA China

SM

Supriyanto Martosuwito

Setiap kali ada isu yang berbau SARA, sektarian dan ketimpangan sosial, mengemuka, maka politisi kubu oposisi dan para komprador – warga lokal, antek negara asing – langsung mengobarkannya, membesarkannya, menjadikannya bara api untuk menciptakan ketidak-stabilan negara.

Tudingan kriminalisasi ulama, terorisme ‘lone wolf’, utang luar negeri, pelemahan KPK, penanganan pandemi Corona-19, larangan mudik, babi panggang dan kedatangan TKA China merupakan contoh terbaru. Paling aktual.

Isu isu yang panas yang memudahkan masyakat resah itu, terus dikobarkan untuk mendeletimasi pemerintah dan negara. Tudingan ‘pemerintah gagal’ dan ‘presiden gagal’, akan disematkan pada akhirnya.

Isu SARA adalah senjata ampuh untuk mengobarkan konflik sosial dan konflik horizontal. Revolusi di Tunisia, Mesir, hancurnya negara Libya dan Suriah (Arab Speing), berawal dari sana.

Korporasi global tak menghendaki Indonesia menjadi pemain dalam industri mobil listrik, dan teknologi masa depan, sehingga kerjasama dengan China untuk mengolah nikel dan mengembangkan baterei mobil kini terus dicegah dengan isu TKA asing.

SUDAH SEJAK LAMA, kira kira 10 hingga 15 tahun lalu, masa masa awal reformasi, semasa masih turun meliput ke lapangan, saya mendengar kabar tentang adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepanjangan korporasi global dan negara adidaya yang menyiapkan wilayah wilayah tertentu di Indonesia untuk menjadi negara sendiri. Agar memisahkan diri dari NKRI.

Contoh “proyek” yang sukses itu adalah Timor Timur. Provinsi termuda di wilayah timur Tanah Air kita itu berhasil melepaskan diri dari NKRI lewat referendum, 30 Oktober 1999 lalu.

Setelah target tercapai, kini Timor Timur ditelantarkan. Dibiarkan miskin. Upaya yang sama akan dilakukan di wilayah Indonesia lainnya yang menjadi target.

Target selanjutnya adalah Aceh dan Papua, menyusul Riau, Kalimantan, Bali dan Maluku. NKRI dipecah dan dikerat kerat, menjadi sekitar tujuh hingga delapan negara nantinya. Masing masing wilayah didorong untuk memisahkan diri dari Pemerintah Pusat Jakarta. Wilayah yang dipilih itu, diketahui memiliki sumber daya alam dan kekayaan budaya. Korporasi global dan negara adidaya menginginkannya.

Caranya dengan mengobarkan gejolak, menciptakan keresahan, aturan aturan wilayah sendiri, anti pusat, hingga pada akhirnya wilayah wilayah tersebut minta referendum. Korporasi global dan negara negara adidaya siap mendanai.

Pelan namun pasti bentuk negara bangsa (nation state) yang menyatukan NKRI dipersoalkan, dan didorong untuk menjadi negara agama (religious state) dan negara suku (etnic state) sesuai kepentingan penguasa global. Agar mudah dikendalikan sebagaimana Timor-Timur , kawasan Timur Tengah dan semenanjung Balkan di Eropa.

Perjuangan berdirinya khilafah, Aceh Merdeka dan Papua Merdeka adalah contoh nyata. Bagian dari “proyek” global itu.

Ini merupakan “proyek lama”, sejak 1990-an, bahkan dekade sebelumnya. Dan terus dirawat hingga kini, dengan mengolah isu isu baru yang sesuai situasi dan kondisi wilayah yang disasar.

SEIRING dengan pecahnya wilayah Semenanjung Balkan di benua Eropa sehingga menjadi tujuh negara, yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Slovelia, Macedonia, Montenergo dan Kosovo, maka proyek menyiapkan wilayah menjadi negara itu disebut sebagai ‘Balkanisasi’.

Pecahnya wilayah Balkan itu jelas bukan spontan, melainkan dengan rancangan. By design. Korporasi global dan negara adidaya ada di balik rancangan itu.

Isu agama dan kesukuan (sektarianisme) yang dikobarkan di wilayah Balkan dengan cepat melahirkan konflik dan lahirlah negara negara baru itu. Juga isu pelanggaran HAM dan korupsi. Modus yang sama dilakukan di Indonesia saat ini. Balkanisasi Nusantara.

Bisa kita rasakan, kini, ketegangan antar agama sengaja dijadikan isu panas dan terus diolah oleh oposisi, LSM agama dan mereka yang sedang stress karena hilang jabatan. Juga pihak lainnya. Sekat Islam dengan non Islam, bahkan Islam dengan sesama Islam, yang beda aliran juga dibuat jurang pemisahnya. Agar beradu. Tercipta konflik horizontal.

BERBEDA dengan kolonialisme klasik, dimana negara asing mengirim bala tentara, kekuatan militer, dengan armada tank serta pesawat, maka kolonialisme baru di era globalisasi ini menggunakan pola asimetris dan perang proxy.

Perang Asimetris mencakup Tri Gatra’ (geografi, demografi dan SDA) dan Panca Gatra’ (ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam), sebagaimana diungkapkan dalam buku “Perang Asimetris dan Penjajahan Gaya Baru” karya pakar geopolitik dari UGM M. Arief Pranoto dan Hendrajit.

Sedangkan perang proxy adalah perang yang menggunakan tangan pihak lain peran pengganti – sebagai kepanjangan kepentingan yang tengah berkonflik untuk mengurangi kehancuran pihak yang berperang. Misalnya AS membentuk Taliban dan ISIS untuk melawan Soviet dan Rusia.

Dalam perang Asimetris senjata andalan pihak yang berkonflik tidak menggunakan pesawat tempur tank baja, melainkan LSM, media massa, media sosial. Mengolah isu dan mengobarkan hoax.

Para komprador : orang orang dalam negeri yang menjadi antek asing, pengkhianat negara, membawa agenda kepentingan global, dan terus mendesak dan mengendalikan negara lewat pengajuan undang undang di parlemen, mengubah pasal pasal, sesuai pesanan asing, juga mengelola isu di media dan LSM.

Selain itu, menyewa aktor aktor untuk demo, rusuh, sesuai tema yang sedang “in”.

Para ‘aktor lokal’ yang diperalat tidak menyadari dampak jangka panjang dari yang mereka lakukan kini. Ditambah lagi dengan ideologi transnasional dalam rangka menciptakan negara khilafah sesuai keyakinan agamanya.

Sementara ini mereka kompak, melawan pemerintah, dengan berbagai demo dan isunya, seperti demo bela ulama, bela Islam, dll., yang semuanya bertujuan sama, menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Ingin mengganti pemerintahan yang sah.

Tandai saja, setiap kali ada LSM berteriak “Pemerintah melanggar HAM”, dan “Ada pelanggaran HAM berat” maka patut diduga suara itu merupakan bagian agenda yang dititipkan asing yang ingin merusak NKRI, melalui LSM lokal, LSM agama, yang menjadi komprador. Pengkhianat negara.

LSM yang sama diam dan pura pura tak melihat, ketika gerombolan senjata sebelumnya menembaki dan membunuh warga sipil. Namun ketika negara turun dan memeranginya, mereka teriak, “Ada pelanggaran HAM”. “Ada Pelanggaran HAM Berat!”

Maka, mengaitkan larangan mudik (tradisi yang biasa dilakukan ratusan ribu dan jutaan warga) dengan kedatangan 500 TKA China, hari hari ini, akan terus dijadikan isu panas untuk menciptakan keresahan masyarakat. Dipolitisir. Agar meningkat menjadi konflik sosial.

Juga isu jajanan Bipang Ambawang alias Babi Panggang yang dipromosikan oleh Presiden RI. Terus diupayakan jadi isu SARA. Setidaknya berdampak label negatif. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.