Supriyanto Martosuwito
Susi Pudjiastuti adalah rokok, tato, wine – kaki selonjoran dan ngomong serius campur santai tanpa beban. Tapi, seperti lautan yang diarunginya omongannya berombak, berayun ayun, menggelegar dan sesekali menabrak karang. Suara baritonnya yang khas, dicampur ‘cas-cis-cus’ bahasa Inggris campur Jawa, sungguh “ngangeni”.
Pekan lalu, Susi mengundang para aktifis Kandang Ayam di Rawa Mangun, Jakarta Timur, dan tim jurnalis Seide.id – ke rumahnya yang megah, luas, sejuk dan rimbun di Pangandaran, Jawa Barat. Pesawat Caravan disiapkan di Halim untuk kami, dipiloti bule Brasil (Ricardo) dan co.pilot India Singapura (Arjun). Tentu saja mengikuti protap Covid 19. Semua di-swab.
Selain cek ombak, berenang di laut, juga raun raun dan makan tidur, dengan layanan bintang lima, sembari ngobrol ngalor ngidul. Dan minum wine.
Katanya – dalam salahsatu obrolan malam kami – jangan terlalu cemas sama orang orang “celana cingkrang”, politisi Islam garis keras di pemerintahan dan parlemen, akhir akhir ini. “Saya undang mereka ke sini. Kasi wine. Beres, ” selorohnya.
KAMI diundang untuk santai santai. Tapi di balik itu kami juga mencari tahu bagaimana kehidupan Susi setelah tak jadi menteri lagi. Kesibukannya di balik studio “cek ombak”, acaranya di teve swasta itu. Museum lukisan di komplek rumahnya. Rencana pendirian padepokan seni dll.
Bisnis penerbangannya perlahan pulih, katanya. Tapi belum ada untung. Penerbangan jalan 50 persen, penumpang sudah 90 persen. Nadine putri cantiknya sudah mengambil alih sebagian tugasnya di maskapai.
Hal menarik dari Menteri Kelautan 2014-2019 ini adalah dia bahas masalah masalah penting dan gawat dari sidang sidang di istana, kehidupan elite, bisnis global hingga masalah rakyat jelata para nelayan yang dijumpai hari harinya di kampung halamannya – sambung menyambung dengan santai. Jenaka. Banyak tawa, selain ada juga kekesalan dan joke sarkastik.
“Cucu saya bilang, pindahkan saja Jakarta ke Pangandaran, ” katanya, disambut tawa tamunya, saat baru mendarat di bandara Nusawiru di pinggiran pantai Pangandaran. Gara garanya di rumah Halim – Jakarta, ada toilet yang ‘flush’ otomatis. Cucunya senang tak diomeli jika lupa menekan tombol siram sehabis pup.
Bagi Susi dan wartawan yang diceritai, “pindahkan saja Jakarta ke Pangandaran” punya arti luas. Metafor. Apakah cucu sedang memberikan “tondo tondo” ? Wallahu Alam.
Di Pangandaran, Susi Pudjiastuti tetap dicintai warganya dan wisatawan yang datang ke sana. Tak cuma ibu ibu – melainkan juga generasi milenial. Saat santai di pingir pantai sehabis mengayuh padle kesukaannya, anak anak remaja dengan malu malu berdatangan minta foto bareng. Ganti berganti.
“Jaga jarak, ya, nanti saya dimarahi pak polisi, ” itu saja, pesannya. ***