Supriyanto Martosuwito
Foto yang saya tampilkan di postingan ini adalah kenangan saya menghadiri Pameran Lukisan Hardi di Balai Budaya, Jl. Gereja Theresia 47 – Menteng, Jakarta Pusat. Saya menduga itu foto tahun 1988 yaitu ketika saya baru menyelesaikan proyek film “Pacar Ketinggalan Kereta” bersama sutradara Teguh Karya dan Alex Komang (alm) sebagaimana terlihat pada kaos yang saya kenakan.
Di ujung kiri adalah artis sinetron dan film “Saur Sepuh” Anneke Putri di sebelah saya ada “Nikita Willy” yang kemudian memberikan saya dua putri cantik dan cucu. Sedangkan saya bersama Mas Hardi saat masih muda belia. Wajah saya masih culun. Perut belum bengkak.
Foto itu menjelaskan bahwa setidak tidaknya saya sudah kenal KP Hardi sejak 1988. Artinya sudah lebih dari 33 tahun. Kami tidak selalu bersama, tapi kami sama sama menyimpan memori kebersamaan.
Dalam perjalanan selama 30 tahun terakhir, KP Hardi melakukan apa yang saya lakukan, yaitu menulis artikel dan membedah dunia kesenian dan kebudayaan, menulis buku. Tapi saya tidak melakukan yang Hardi lakukan yaitu melukis dan menyelenggarakan pameran tunggal.
Bagi para wartawan tokoh tokoh yang diwawancarai bukan hanya sumber berita melainkan juga guru. Dalam hal kesenian dan kebudayaan, KP Hardi adalah narasumber dan guru saya.
KP Hardi adalah sosok seniman yang selalu bersemangat ketika diwawancarai. Dia mampu menjelaskan karyanya dengan gamblang. Tidak semua seniman mampu melakukan itu. Lebih dari sekadar bucara seni, dia juga memberikan petanya yang mutakhir. Banyak pernyataan dan komentarnya yang layak kutip alias “quotable”. Tentu saja banyak info “off the record”nya.
KP Hardi Danuwijojo memenuhi syarat sebagai seorang Maestro. Dia piawai melukis, menguasai teknis dan memiliki visi kesenian dan kebudayaan dan menunjukan sikapnya. Beliau bukan sekadar seniman pencari nafkah di dunia seni. Tapi juga pemikir dan penggerak.
Saya belajar jurnalistik melalui kursus. Bukan fakultas komunikasi atau kuliah di perguruan publisistik. Hal ikhwal menulis berita saya pahami teknisnya melalui pelatihan, seminar dan buku bacaan sambil praktik dan terus belajar sampai kini.
Tapi di lapangan kemampun menulis bukan satu satunya syarat kewartawanan. Ilmu pengetahuan umum dan pemahaman mendalam pada bidang yang kita liput adalah syarat berikutnya. Wartawan adalah pembelajar seumur hidup.
Narasumber handal memberikan itu. Mas Hardi memberikan itu pada saya. Dalam setiap wawancara dia menjelaskan duduk soal suatu perkara dan sikapnya. Juga peta dan konstelasinya.
Lahir Blitar, tanah kelahiran Bung Karno di Jawa Timur 70 tahun lalu.
Tepatnya 6 Mei 1951. Antara 1971 – 1974 Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975 – 1977 kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda. Dalam bersenirupa, Mas Hardi berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji.
Nama Hardi melesat ketika pada Desember 1978 ditangkap dan ditahan Laksusda Jaya, karena lukisan foto dirinya, berukuran 60 x 30 cm, dengan pakaian jendral berbintang dan bertajuk “Presiden tahun 2001, Soehardi”. Pamasangan foto dirinya di tengah pemerintah represif dan militeristik Orde Baru merupakan protes dan perlawanan, sekaligus tantangan kepada penguasa. Namun, berkat campur tangan Wakil Presiden Adam Malik saat itu, Hardi dibebaskan.
Mas Hardi sudah berusia 70 tahun kini. Berkah untuknya. Seniman seniman hebat banyak berusia panjang. Affandi 83 tahun, R. Basoeki Abdullah 78 tahun, S. Soejojono 73 tahun, Pramudya Ananta Toer 81 tahun, Mas Willy Rendra berusia 73 tahun. Nama nama yang lekat dalam perjalanan kesenimanan Mas Hardi berusia panjang. Kiranya mas Hardi ketularan panjang umur.
Mas Hardi. Selamat menikmati usia panjang, berlimpah berkah dan bahagia di tengah keluarga tercinta. Selalu sehat dan terus berkarya. ***