Oleh : ERIZELI JELY BANDARO
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 14.27 WIB hari ini, saham BBCA melonjak 3,19% ke Rp 30.750/saham. Ada rencana mau split dengan rasio 1:5. Walau harga saham turun, tidak menurunkan nilai. Yang bertambah hanya jumlah saham yang beredar. Saya tidak akan membahas prospek saham BCA. Dalam kesempatan ini saya akan membahas sejarah saham BCA.
Pada tanggal 29 September 1998, Salim group harus bertanggung jawab atas utang sebesar Rp 32 triliun. Salim menyerahkan BCA kepada pemerintah. Sebanyak 92% saham BCA dikuasai oleh pemerintah. Hanya 1.76% tersisa untuk Salim. Sisanya pihak lain. Kemudian BPPN minta agar pemerintah suntik modal agar BCA sehat. Suntikan dana itu tentu menambah saham pemerintah di BCA. Jadi secara tidak langsung BCA sudah di BUMN kan.
Tahun 2000 pemerintah mau divest saham BCA melalui IPO di bursa. Tetapi gagal dilaksanakan. Mengapa ? Tidak yakin akan memperoleh uang Rp 3 triliun sesuai target APBN. Pada 27 April 2000 BPPN resmi mengembalikan BCA dari BPPN ke BI karena sudah sehat.
Tanggal 19-23 Mei 2000 Saham BCA resmi didaftarkan di Bursa Efek Jakarta. Tapi gagal melantai. Apa pasal ? Pada 5 Oktober 2000 DPR dan pemerintah sepakat tunda pelepasan saham BCA.
Selanjutnya 1 Maret 2001 DPR dan pemerintah sepakat melepas 40 persen saham pemerintah di BCA. Tapi tidak melalui bursa. Divestasi melalui tender biding kepada investor strategis. Tanggal 6 Juni 2001 dari 15 investor yang ikut tender, yang lolos 6 investor. Tender Biding akhirnya dibatalkan. Karena syarat yang ditetapkan investor tak sesuai kebijakan pemerintah.
Pada 28 Agustus 2001 diadakan lagi tender biding divestasi. Pemerintah mengubah kebijakan penjualan saham, dari 30 persen menjadi 51 persen. DPR baru setuju dua minggu kemudian. 4 Oktober 2001 BPPN menunjuk PT Danareksa Sekuritas (Persero) dan Merrill Lynch Pte Ltd sebagai penasihat keuangan dalam proses tender penjualan saham tersebut. Dalam tender itu masuk qualifikasi disetujui ada 18 investor strategis dari 98 calon investor strategis yang diundang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Proses Tender lanjut pada 16 November 2001.
Tanggal 26 November 2001 BPPN memperpendek daftar calon investor menjadi hanya sembilan lembaga. Salah satunya Farallon Capital, mewakili keluarga Hartono ( Djarum).
Proses tender itu memang rumit dan adu strategi. Mengapa ? BCA adalah bank sehat. Tidak ada NPL. Disisi piutang pada neraca ada obligasi rekap. Itu fixed income bagi BCA. Sementara prrose divestasi tidak lewat bursa, tentu tidak transfaran. Artinya memungkinkan ada exit strategi bagi pemerintah sebagai pemegang saham dan juga penjamin obligasi rekap BCA untuk melepas resiko Obligasi rekap itu kepada pembeli. Siapa yang bisa penuhi syarat itu, ya silahkan ambil BCA sesuai harga disepakati. Dari 9 calon investor tersisa hanya 2 yaitu Stanchart dan Faralon capital. Belakangan pemerintah coret Stanchart karena mensyaratkan management fee 22%
Pada Januari 2021. Pemenang tender adalah Faralon Capital. Menurut Laksamana dari penjualan BCA pemerintah mendapatkan sekitar Rp.5,3 triliun dari penjualan 51 persen saham BCA. Farallon menyutujui harga BCA sebesar Rp. 1,175 per saham. Ini sedikit lebih rendah dari harga yang ditawarkan Stanchart Rp. 1.800. Tapi prosesnya, dijual langsung 30 persen dan 21 persen nya dijual exercise right. Waktu itu pemerintah meliat situasi. Kalau saham terus naik ya tahan. Eh di era SBY saham BCA milik pemerintah dicicil dilepas dan 30 September 2007, pemerintah sudah tidak lagi memiliki saham BCA. Sudah dikuasai 98% oleh Farallon Capital.
Tahun 2009 Farallon Capital LLC menjual 3,99% saham BCA senilai Rp 3,38 triliun. Gede ya cuannya.. Kemudian terus dijual ke publik sampai 46,72%. Hitung aja berapa banyak cuannya. Sehingga menyisakan 51,15 persen saham BCA dipegang oleh konsorsium Farindo Investments Ltd dan Farallon Capital Management LLC, di bawah Grup Djarum. Sisanya, sebanyak 1,76 persen dimiliki Anthony Salim. Sekarang saham BCA Rp 30.000. Menempatkan keluarga Hartono terkaya nomor 1 di Indonesia.
Padahal dulu tahun 2002 saham BCA belinya Rp 1.175. Nah investasi smart itu bukan di deposito tapi di saham. Deposito niliainya berkurang karena inflasi. Namun saham meningkat karena inflasi. Mari invest di saham.