Foto : congerdesign/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
“Refleksi ini Mohon Kerendahan Hati Sejati”
Sesungguhnya, sang manusia itu hanyalah sekerat daging di atas sebuah piring.
Dia, tak kurang dan tak lebih dari hanya sekadar “laksana” sekerat daging, yang terombang-ambing, dan bisa akan segera membusuk, berbau tak sedap, dan bahkan berulat.
Di atas seceper piring dia sungguh tak berdaya, hanya bergerak ke kiri atau ke kanan, karena toh memang tak berdaya.
Dia pun mudah terombang-ambing kala piring itu dimiringkan ke kiri atau pun ke kanan.
Sesungguhnya, sang manusia itu memang serba rapuh dan tak berdaya.
Kondisi tak berdaya ini disimbolkan, bahwa sesungguhnya sang manusia itu memang sangat rapuh serta mudah terpental secara mental spiritual. Dia, benar-benar bagai sekerat daging. Dia juga ternyata sangat mudah tergoda dan dibujuk dirayu dalam kesehariannya.
Refleksi ini, mengajak sang manusia untuk sudi mengaca diri pada sebening cermin kehidupan.
Mengaca pada cermin kearifan, kejujuran, ketulusan, juga pada cermin kerendahan hati.
Relasi intens serta tulus dengan Sang Pencipta adalah sebuah kekuatan terdasyat bagi sang manusia.
Sekerat daging, sungguh tak bermakna apa-apa lagi, apakah dia disantap oleh sang raja dan ratu atau pun oleh sang pengemis kumal terlunta.
Maka, sesungguhnya, “celakalah” jika sang manusia dalam hidupnya selalu bersikap angkuh serta rakus. Dia, hanyalah sekerat daging yang akan segera “membangkai” busuk.
Marilah Saudaraku, kita senantiasa hidup di dalam kesadaran, bahwa kita ini sangat rapuh, lemah tak berdaya, laksana sekerat daging di atas piring durhaka.
“Manusia haruslah rendah hati, karena dia berasal dari debu tanah.”
(pepatah Swedia).
Malang, 12 September 2022