Selamat Jalan, Romo Djoko Pekik

Djoko Pekik Bapak Seniman Jogya

Ada rasa kebanggaan di kalangan para seniman dan wartawan serta para politisi kiri; Sosialis Komunis, yang lama dipenjara Jendral Suharto tapi mampu bertahan hidup lebih dari 27 Januari 2008 lalu. Sebab mereka “menang” melawan Sang Diktator Orde Baru – yang meninggal pada tanggal itu. Sebagian dari mereka bertahan hidup lebih lama dari Suharto bisa menikmati kebebasan lebih lama dan berkah zaman reformasi serta kejayaan di hari tua, saat mana Suharto justru terkucil dan mati dalam kesepian. foto Instagram/Plataran Djoko Pekik

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SEORANG di antaranya adalah pelukis Djoko Pekik (1937 -2023), yang berjaya dan sejahtera di masa tuanya, setelah keluar dari penjara, dan hidup lebih lama dibanding Jendral Suharto – yang memenjarakannya.

Maestro lukis asal Yogyakarta itu tutup usia pada Sabtu (12/8/2023) pagi pukul 08.19 WIB pada usia 86 tahun. Djoko Pekik yang belakangan ini dikenal sebagai Bapak Seniman Jogya, lahir di Grobogan, Jawa Tengah, 2 Januari 1937.

Pamor Djoko Pekik setelah karyanya menampilkan lukisan berjudul Berburu Celeng di Bentara Budaya Yogyakarta pada 1998, dibeli oleh seorang kolektor seharga Rp 1 miliar.

Banyak tafsir dari lukisan itu. Ada yang menyebut, celeng itu sebagai simbol Presiden Suharto yang lengser pada 1998. “Saya melukis celeng seperti yang pernah saya lihat di Purwodadi,” jelasnya.

Karya lukis fenomenal Djoko Pekik Berburu Celeng melahirkan tulisan panjang oleh wartawan, budayawan yang juga pastor Romo Sindhunata dan menjadi inspirasinya bagi seniman Jogya lain, untuk membuat lagu berjudul Celeng Degleng – lagu kritik sosial yang sempat viral saat terjadi gegeran di tubuh PDIP.

Seri lukisan lainnya dari lukisan Berburu Celeng Merapi kini dihibahkan kepada ‘Museum Anak Bajang’, ‘Omah Petruk’ di, Pakem, Sleman.

Karya lain dari Djoko Petik adalah lukisan berjudul Demit 2000 yang dibuat tahun 2001. Lukisan itu menggambarkan figur penguasa yang sedang mengungkapkan ekspresi marahnya dengan mata melotot dan mulut menganga sambil memegang pelantang suara. Di latar belakangnya berdiri orang yang seolah mengikuti koor dari karakter deformasi wayang tersebut.

Lukisan lain yang dikerjakannya adalah Go to Hell Crocodile yang menggambarkan seekor buaya berwarna hitam dengan lidah menjulur merah. Buaya itu berada di antara rumah penduduk desa. Tapi di dalam lukisan juga terdapat lingkaran yang porosnya makin lama makin kecil. Djoko Pekik membanderol lukisannya senilai Rp 6 miliar.

Djoko Pekik menggelar pameran tunggal yang berjudul “Jaman Edan Kesurupan” pada tahun 2013 lalu. Dalam pameran itu, dia menampilkan 28 lukisan dan 3 patung karyanya antara periode 1964-2013.

Djoko Pekik pernah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yakni sebuah lembaga kesenian yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama Lekra, dia menjadi pelukis yang fokus pada sosial kerakyatan dengan menolak segala bentuk kapitalisme.

Lembaga Kesenian Rakyat berdiri 17 Agustus 1950 dan dibubarkan September 1966 bersamaan dengan pembubaran PKI.

Setelah pecah peristiwa G30S pada 1965, Djoko Pekik yang aktif di Lekra kemudian ditangkap. Dia dianggap sebagai dalang peristiwa G30S. “Saya dikatakan pelarian dari Jakarta dan dituduh sebagai pembunuhan para jenderal,” katanya dalam sebuah wawancara, beberapa tahun lalu.

Djoko Pekik bersama anggota Lekra lainnya ditangkap aparat kepolisian pada 8 November 1965. Sang Seniman lekra ini pun sempat merasai siksaan dan hidup dalam bui selama 7 tahun lamanya. “Saya ingat betul bagaimana rasanya gelap di penjara, kedinginan, kelaparan, disuruh jalan jongkok dengan kepala diinjak, punggung bengkak, badan semua berdarah. Sengsara sekali,” ungkap Djoko Pekik.

Bukan hanya Djoko Pekik, banyak anggota Sanggar Bumi Tarung yang juga ditangkap oleh aparat. Pada akhirnya sanggar itu pun dibubarkan pada masa Orde Baru.

Djoko Pekik ditangkap kemudian ditahan mulai 8 November 1965 di penjara Wirogunan. Dia baru dibebaskan pada 1970-an, setelah 7 tahun dipenjara. Setelah bebas dari bui, Djoko Pekik sempat vakum melukis dan bekerja serabutan tapi jiwa melukisnya tak pernah mati.

Baru sekitar tahun 1990-an, Djoko Pekik mulai aktif melakukan pameran. Bahkan dia pernah mengikuti pameran Internasional yang diselenggarakan di Amerika Serikat tahun 1989.

Sejak pamornya naik, Djoko Pekik selama menjadi bapak bagi para seniman Yogyakarta. Karena dia memang kebapakan, sosok yang rendah hati dan tak segan untuk mendatangi pameran atau acara-acara yang digelar seniman muda. Menjadi pengayom, pendukung dan motivator.

Tidak ada jarak antara Djoko Pekik dengan seniman-seniman lain dalam berbagi pengalaman melukisnya. Karenanya seniman-seniman lain pun menaruh hormat padanya. Rumahnya di Sembungan, Kasihan, Bantul. dijadikan sanggar dan tempat mana dia biasa untuk berdiskusi dengan para seniman.

Pelukis Djoko Pekik meninggal pada hari Sabtu pagi (12/8/2023) sekitar pukul 08:19 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta – dimana sebelumnya mengalami penurunan kesadaran . Kabar meninggalnya Djoko Pekik dibagikan oleh sang anak Petrus Gogor Bangsa melalui pesan berantai WhatsApp kepada para seniman dan wartawan Jogyakarta.

Djoko Pekik dibesarkan oleh keluarga petani. Pada awalnya dia ingin menjadi seorang kepala desa yang memiliki seperangkat gamelan. Namun berkat bakat melukisnya, Djoko Pekik justru menjadi seniman lukis Indonesia yang sangat terkenal.

Pendidikan yang didapatkan Djoko Pekik tidak berjalan lancar, dia bahkan tidak lulus sekolah dasar. Walau begitu Djoko Pekik terus belajar dan berkembang hingga meneruskan pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta.

Pada tahun 1961, Djoko Pekik aktif dalam organisasi seni kiri bernama Sanggar Bumi Tarung”. Di sanggar itulah bakat seni Djoko Pekik semakin terasah. Bahkan gaya lukisan Djoko Pekik yang realis diperoleh dari pengalamannya saat aktif di organisasi kesenian milik Lekra itu. Sebelum tahun 1965, dia tercatat pernah beberapa kali menggelar pameran lukisannya di Jakarta.

Aliran lukis Djoko Pekik adalah realis-ekspresif yang dibumbui dengan nilai-nilai kerakyatan. Karya lukisannya banyak memuat kritik terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia.

“Saya tidak pernah baca referensi atau nyontoh lukisan orang. Sesuatu yang menyakitkan hati, mengendap di hati, perasaan itulah yang mengeluarkan tema dan inspirasi. Perasaan yang menuntun tangan saya,” demikianlah kredonya dalam berkarya senirupa. – dms

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.