Sebuah isue berbahaya sedang berkembang. Celakanya itu masuk ke telinga presiden. Jika demokrasi di Indonesia ingin ditegakkan, Jokowi harus diselamatkan dan tidak terjerumus dalam arahan para pembisiknya. ( Foto: Wafin)
Ada isu, lima triliun telah dikucurkan bohir untuk menunda pemilu. Namanya juga isu. Sumbernya tidak jelas. Karena tidak jelas, saya belum bisa menjadikannya rujukan.
Tapi indikasi yang paling terang adalah, kompaknya suara beberapa partai. Dan di antaranya, yang menyedihkan adalah PSI. Partai yang sebelumnya konon hendak membawa cita-cita perubahan. Meski PSI membawa umpan lambung yang sedikit berbeda. Bahkan menurut saya malah lebih berbahaya: Amandemen UUD 45.
Anehnya, siapa pun dalang di balik semua ini, termasuk Istana sekalipun, tidak berhitung cermat. Pendukung setia Jokowi yang paling berpengaruh kompak menolak. Cokro TV misalnya, dengan tegas menyatakan ide berbahaya itu harus dilawan. Itu bisa dilihat dari tayangan masing-masing hostnya.
Saya membayangkan, jika perpanjangan pemilu dilakukan, para pendukung Jokowi itu akan turun ke jalan bersama orang-orang yang sejak awal memang telah mengincar Jokowi. Mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada kejatuhan Soeharto. Segenap kelompok yang menjadi musuh Soeharto kompak melakukan perlawanan. Ada yang berasal dari kelompok Islam garis keras, moderat, liberal, nasionalis, termasuk kelompok kiri.
Sedih ketika membayangkan Jokowi ada di posisi Soeharto. Apapun niat baik di balik perpanjangan masa jabatan presiden itu akan tenggelam dalam noktah hitam. Jokowi akan dikenang dalam sejarah sebagai seorang oportunis, yang tak jauh beda dari politisi lainnya.
Saya percaya bahwa ada dalang di balik semua ini. Orang-orang yang membisiki Jokowi untuk testing the waters. Dan dia yang tak boleh disebutkan namanya ini tentu telah mengonsolidasikan semua kekuatan. Sayangnya, mereka luput menghitung pendukung Jokowi.
Dalam perhitungan mereka, barangkali para pembela Jokowi akan mendukung ide itu. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya.
Maka ketika reaksi keras dari pendukung Jokowi muncul, itu di luar perhitungan mereka. Padahal itu belum menghitung reaksi dari para pembenci Jokowi. Kekuatan hitam yang selama ini menunggu pemicu. Jika perpanjangan masa jabatan dilakukan, Jakarta akan banjir manusia. Pergolakan akan terjadi di mana-mana.
Ini persoalan nurani. Jokowi orang baik. Dan kita berhutang banyak kepadanya. Namun itu tidak menjadi pembenaran untuk menambah masa jabatannya. Dua periode telah cukup. Biarkan orang baik selanjutnya yang meneruskan legacy-nya.
Jokowi tentu bukan Soeharto, tapi agaknya hendak dibentuk menjadi demikian. Dulu Soeharto juga didaulat sebagai yang tak tergantikan. Bahkan di usianya yang sudah uzur, ia terus dibujuk untuk menerima jabatan presiden.
“Kalau bukan Bapak, tidak ada yang sanggup mengembannya…”
Itu omong kosong politisi busuk. Sekarang era pemilihan langsung. Ada ratusan juta orang di Indonesia. Kita hanya harus menemukan satu orang terbaik dan memilihnya.
Terkait polemik ini, Istana memang sudah menjawab. Dengan bahasa normatif, tapi masih menyisakan tanda-tanya. Mungkin mereka berpikir, rakyat tak sepintar mereka. Gampang dikibuli.
Padahal tembok itu bertelinga. Apa yang berdengung di istana akhirnya akan menjalar keluar juga. Lagipula, ini kan sangat mudah ditebak. Asap sudah membubung, dan terlihat jelas sumber apinya.
Tapi apapun isi konspirasi itu, Jokowi harus diselamatkan. Jangan sampai ia dijerumuskan oleh para pembisik yang sebenarnya juga tak lebih pintar dari kita.
Indonesia sedang dalam kondisi bahaya. Jika konstitusi dilanggar, atau amandemen UUD 45 dilakukan demi syahwat politik, akan ada perlawanan besar-besaran. Kondisi kacau itu akan memudahkan adanya kudeta.
Jokowi harus diselamatkan, dari dirinya sendiri dan bujukan orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena kita mencintai Jokowi dan ingin mengenangnya sebagai salah satu pemimpin besar Indonesia.