Ketika Aris datang kepadaku dengan wajah keruh merah dadu, semua berubah menjadi kelabu. Langit kelabu, daun-daun yang berguguran warnanya ikut kelabu dan semburat sinar matahari yang menyembul di celah-celah rimbunnya bambu, entah mengapa juga berubah kelabu. Sialnya, matahari pun enggan memberi kehangatan optimal, sinarnya yang hanya hangat-hangat kuku, menyembul dari peraduannya dengan malu-malu. Sepertinya sang matahari akan bersinar kelabu juga. Aku bertanya ada apa dengan sabahatku yang satu ini?
“Tolonglah aku Gam. Jika sampai dia meninggalkanku, matilah ragaku ini. Please, katakan padanya, jangan pergi meninggalkanku,” Aris menatapku dengan wajah memelas, wajahnya tampak layu, seredup sinar lampu di ruang tamuku malam itu.
“Siapa yang akan meninggalkanmu? Isterimu, ada apa dengan kalian?” tanyaku.
Aris membisu. Cericit tikus got di teras depan rumah kontrakanku, berbunyi tajam. Dari kejauhan, suara pentungan penjaga malam di pos penjagaan terdengar bertalu-talu, suara itu mirip peringatan tanda bahaya bila ada bencana alam. Kuperhatikan wajah sahabatku yang rumit itu, kian lama terlihat bertambah rumit. Aku menduga pasti dia ada masalah berat dengan isterinya.
“Kalian bertengkar lagi?” tegasku.
Aris menggeleng.
“Bisakah kau mencarikanku pembunuh bayaran? Tolonglah Gam, carikan aku orang yang bisa melenyapkan nyawa orang tanpa rasa sakit, tanpa suara lengkingan dan mampu membunuh dengan rapi, tidak diketahui seorang pun kecuali kau.” Pintanya bersungguh-sungguh.
“Kau gila. Bro, ada apa denganmu?” tanyaku lagi.
“Tidak, aku tidak gila, ini serius!”
“Lalu, siapa yang akan dibunuh? Lagi pula mengapa kau memintakuku mencari pembunuh bayaran? Kau pikir aku mafia yang punya anggota geng kriminal? Haha…kau ngaco Aris…”
“Aku serius!” Aris membentakku. “Dengar, aku ingin kau mencarikan orang yang bisa membalaskan sakit hatiku. Perempuan itu, ya…perempuan itu, dia harus kuhancurkan. Setelah dia mengambil hartaku, menghisap setiap aliran darahku, menghancurkan keluargaku, sekarang dia melenggang pergi dengan orang lain. Dia menyelingkuhiku. Dia selingkuh lagi Agam, aku benci, aku dendam, dia harus musnah dari muka bumi ini!”
Aku membisu. Bibirku kelu. Selingkuhannya selingkuh? Ough! Aku menepuk dahi. Kutengok Aris yang duduk di sudut ruang tamu dengan wajah merah legam. Musnah sudah segala hal yang baik tentang dia. Lelaki yang kukenal sangat agamais ini, kini berubah total. Dia bagai orang asing di hadapanku. Aku menelan ludah dalam bisu, kupicingkan mata, menatap Aris dengan diam.
“Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku berselingkuh. Kisahnya panjang Gam. Kalau aku jelaskan kau pun tidak akan paham. Aku juga tidak.” Katanya.
“Aku tidak mengerti arah ucapanmu. Bro mengapa kau lakukan itu? Isterimu cantik, setia dan baik. Anak-anakmu sehat-sehat, ganteng dan cantik.”
Aris diam membisu. Matanya menyipit memandang ke sudut ruang tamu rumahku. Aku tahu ia sedang merancang sesuatu. Ada rasa cemas yang memenuhi benakku. Tentunya rancangan yang ia susun sangat mengerikan, ya membuatku takut bercampur cemas.
“Bagaimana isterimu? Apa dia tahu kau punya selingkuhan?”
“Ya.”
“Lalu, apa responnya?”
“Dia minta cerai, tapi tidak kukabulkan. Aku cinta isteriku, aku juga cinta selingkuhanku. Dua-duanya tak bisa kulepas. Tapi…”
“Tapi apa?” selidikku.
“Ah, entahlah,” Aris mengedikkan bahunya. Dia bagai sosok yang kehilangan akal sehat. “Aku mengenal perempuan itu di sebuah tempat karaoke. Dia bekerja di situ sebagai pemandu. Kala itu, dia menegurku dengan ramah, memilihkan lagu-lagu yang kugemari. Lalu dia memberi nomor Hp-nya. Begitulah, setiap aku datang ke tempat karaoke itu, dia selalu menemani. Hingga akhirnya…”
“Kau lupa daratan, dan hubungan kalian semakin menukik ke dalam. Aris…Aris…itu kisah klise yang kerap terjadi. Mengapa kau kalah dengan perasaanmu sendiri?” aku memotong.
“Aku benar-benar jatuh cinta padanya, Gam. Semua terjadi begitu saja, mengalir bagai air…”
Kembali kupandangi sahabatku ini. Cinta telah mencokoknya hingga ia berubah dari sosok yang sayang keluarga menjadi sosok yang benar-benar hilang kendali. Aku kemudian teringat pada kalimat yang kubaca dari sebuah buku, bahwa pikiran dan perasaan hanya bisa dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Tak ada yang tak mungkin. Cinta untuk kedua kalinya hanya pikiran semu yang datang sekejap dan kemudian akan berlalu seiring berjalannya waktu, Jika perasaan cinta makin dipupuk, maka orang yang mengalaminya akan kalah oleh perasaannya sendiri. Jadi jangan main-main dengan perasaan. Sekali dia berkuasa, maka orang itu tak bisa lagi lari dari cengkeraman perasaannya itu.
“Biarkan perempuan itu menyelingkuhimu. Kau akhirnya tahu bahwa dia memang tak pantas untukmu. Kembalilah ke isterimu, dialah yang pantas kau cintai!” kataku akhirnya.
Aris menundukkan kepala. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan nada gelisah yang kutahu bercampur sesal. Tikus got kembali bercericit di teras depan rumah kontrakkanku. Malam itu, kulihat sahabatku bertarung dengan perasaannya, bertarung dengan hati nuraninya, bertarung dengan keputusan yang akan diambilnya.
“Agam, aku pulang. Lupakan ucapanku tadi.” Katanya kemudian.
“Jadi, kau tidak akan mencari pembunuh bayaran, kan?” tanyaku.
Aris diam. Ia berlalu, meninggalkan ruang tamu rumahku dengan langkah lesu. Di luar semilir angin malam menerobos masuk melalui celah pintu, dinginnya menggigit, membuat serak tenggorokkanku, aku masih tercekat memandang punggung Aris yang lenyap di ujung lorong gang rumahku.
….
Monica memeluk mesra Tuan Wong. Bau asap rokok memenuhi ruang karaoke yang temaram oleh sinar lampu warna-warni. Suara cekikikan perempuan terdengar di kamar sebelah, itu adalah hal biasa, beberapa nama seperti Mirna, Diana, atau Nova, meramaikan ruang demi ruang yang ada di klub karaoke tingkat menengah ke bawah itu. Pantas memang, dilihat dari kelasnya, karaoke ini bukanlah tempat hiburan yang eksklusif. Suara-suara masih bisa di dengar melalui dinding yang setengah kedap suara. Aroma mesum menebar saat pertamakali masuk ke ruangan ini, beberapa perempuan bergoyang, meliuk di antara deru dan nafsu birahi para lelaki. Pakaian mereka yang super ketat dan irit bahan, menonjolkan tiap lekuk tubuh mereka. Tubuh molek dengan aroma parfum kelas murahan, menebar ke segala penjuru ruangan. Sinar lampu yang berbaur dengan asap rokok, membentuk siluet gerakan seronok. Lagu-lagu dangdut dengan beat-beat cepat yang diselingi dengan house music, membahana membuat adrenalin para lelaki yang ada di situ kian meningkat. Di sana, di antara ruang-ruang tertutup tempat karaoke sekaligus klub malam itu, Monica mencumbu Tuan Wong yang melimpahinya dengan lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah.
“Benar kau mau menjadikan aku isterimu yang ke tiga?” Tanya Monica.
“Tentu saja. Aku kan sudah bilang berkali-kali, masak sih aku bohong,” Tuan Wong membelai rambut Monica. “Malam ini kau boleh menginap di apartemenku. Isteriku sedang ke luar negeri. Aku kesepian.”
“Oke, nanti sehabis jam kerja.” Jawab Monica.
Pasangan yang tengah dimabuk asmara itu berjalan berangkulan keluar dari tempat karaoke. Malam semakin larut, langit sunyi dan sendu. Tak ada kerlip bintang yang berbinar indah di atas cakrawala. Rangkulan mesra yang tertancap di pinggang sang perempuan, membuat binatang malam malu menampakkan wujud mereka.
“Benar kau mau menjadi isteriku yang ketiga?” ulang Tuan Wong.
Monica menganggukkan kepalanya. Mereka berangkulan kian ketat melintasi trotoar yang gulita tanpa penerangan sedikit pun. Saat itu, ketika suara gelegar memecah sepinya malam, dua mahluk yang tengah dimabuk asmara mencelat ke atas, kemudian membentur tembok beton pembatas jalan. Tubuh mereka hancur lebur. Kepala si lelaki lepas dari lehernya, sedang sang perempuan wajahnya hancur lebur membentur pagar beton pembatas jalan. Dua-duanya tewas seketika. Sebuah truck tronton telah menabrak keduanya.
….
Aris menyeringai penuh makna, ia meletakkan koran yang dibacanya di atas meja dengan perasaan puas. Ia mengambil Hp-nya, menekan nomor Agam sahabatnya.
“Kau sudah baca koran hari ini?”
“Kematian tragis yang menimpa selingkuhanmu?”
“Ya. Dia pantas menerimanya!”
“Kau yang membunuhnya?”
“Tidak. Aku tidak melakukannya. Tapi dia pantas mendapatkan itu.”
“Benar kau tidak terlibat?”
“Aku tidak membunuhnya Agam. Sungguh. Itu memang murni kecelakaan.”
Aku membisu. Antara dusta dan kebenaran sangat tipis batasnya. Tatkala Aris datang kembali ke rumahku, aku melihat ada raut kekhawatiran di wajahnya. “Para polisi mencariku. Mereka mengaitkan kematian selingkuhanku dengan diriku. Agam bagaimana ini, aku benar-benar tidak melakukannya.”
“Jika kau tidak melakukannya, mengapa harus takut? Jelaskan alibimu di mana kau berada saat kecelakaan itu terjadi!”
“Tapi…”
“Tapi apa, Ris?”
“Gambarku ada di ponsel perempuan itu.”
“Lalu?”
“Ponsel itu tidak hancur, di sana ada adegan vulgar dan hot aku bersama Monica, selingkuhanku itu. Polisi pasti mencurigai aku pelakunya.”
My God! Aku menepuk dahi. “Betapa cerobohnya kau, Ris.”
“Tolonglah aku, jelaskan pada polisi kalau aku ada di rumahmu saat peristiwa itu terjadi. Sungguh Gam, aku tidak membunuhnya. Aku mohon!”
Kepalaku pening. Aris sahabatku sejak kecil. Di relung hati yang terdalam aku tahu laki-laki ini bukan petualang, bukan pula pembunuh. Ia hanya petualang amatir yang saat ini tengah terlena akibat uang yang berlebihan, uang dari berbagai proyek yang diperolehnya dengan mudah. Aris tengah lupa diri, orang yang sedang lupa diri sulit untuk dibuat sadar. Dia hanya akan sadar bila musibah datang menimpanya. Dan kali ini, Aris mulai tersentak, permainan yang selama ini dilakukannya bersama Monica pada akhirnya berbuntut panjang, segala yang busuk disimpan sebaik apapun pada akhirnya akan tercium juga. Rekaman di Hp Monica berkisah banyak tentang hubungan mereka yang intens, sensual, dan penuh getar libido, itu menjadi bukti kalau bau itu akhirnya berubah menjadi nyata.
“Ya, aku akan membantumu. Hanya ada satu syarat yang kuajukan, kalau kau tidak mematuhinya, aku lepas tangan.”
“Apa itu?”
“Aku ingin kau kembali seperti Aris yang dulu. Aris yang agamais, yang setia pada isteri dan anak-anaknya. Ingat bro, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Seberapa banyak uang yang kau peroleh tak akan pernah bisa mengembalikan kebahagiaan keluargamu yang sempat hilang.”
“Jika aku tetap dituntut sebagai pembunuh bagaimana?”
“Kau tidak membunuh, benar kan?”
“Tentu saja benar. Aku tidak bohong!”
Aku menganggukkan kepala. Percaya.
….
Bento menemui Aris di kantornya.
“Ini uang untukmu, cukup kan?”
“Cukup, bos.”
“Ingat, hilangkan semua barang bukti, juga kwitansi penyewaan truk tronton itu!”
“Sudah bos. Tapi…tadi isteri bos telpon saya.”
“Apa yang dia katakan?”
“Dia cuma bertanya di mana bos berada.”
“Bagus. Ingat, rahasiakan peristiwa ini!”
Aris menyeringai penuh dengan rona puas. Sambil menenteng laptop dan tas kameranya, ia melangkah ke luar kantor dengan tenang.
Tiba-tiba, “Dor!” sebuah peluru menembus kening Aris.
Mega meniup asap yang masih mengepul di ujung pistol yang ada di tangannya. Matanya mengerjap, kemudian ia melirik suaminya yang diam tak berkutik. “Inilah harga yang harus kau bayar!” katanya. Kemudian beberapa polisi datang memborgol tangan perempuan itu. Kisah mereka pun berakhir sudah. Peselingkuh telah dikirim ke luar bumi menyusul selingkuhanya.
Tamat
Oleh Fanny Jonathans Poyk