Lain ladang lain belalang, lain dulu lain sekarang. Itulah fakta, beda anak zaman dulu dengan zaman now.
Dulu, semasa kecil, kita diajari oleh orangtua, makna budaya hidup sabar. Saat kita minta dibelikan suatu barang atau mainan pada orangtua. Kita biasa disemayani, dijanjikan melulu oleh orangtua. “Sesuk yo, Le, Nduk…”
Kita diajari hidup sabar sesabarnya. Sekaligus kita juga diajak berani memahami keadaan orangtua. Untuk membeli suatu barang atau mainan itu membayarnya dengan uang. Kita dijanjikan, dan terus dijanjikan, bukan karena orangtua tidak mau membelikan, melainkan orangtua kita belum mempunyai uang.
Seharusnya, dan sudah seharusnya sebagai anak itu kita tahu diri untuk memahami kondisi keuangan orangtua. Tidak ada orangtua yang tidak sedih, ketika direngeki anak. Orangtua mana yang sampai hati membiarkan anaknya jadi murung, mengurung diri, lalu sakit?
Sebagai orangtua, semestinya juga berani bersikap jujur atau berterus terang pada anak. Ketika kondisi keuangan sedang sulit atau pailit agar anak belajar untuk memahami. Anak diajari memilah dan memilih antara keinginan dan kebutuhan serta hal mana yang harus lebih dulu diprioritaskan, diutamakan. Sehingga anak tidak merengek, mendesak, atau memaksa orangtua untuk membeli barang dengan cara entah bagaimana.
Begitu pula zaman now, di mana kita ditawari untuk membeli barang dengan cara praktis dan mudah. Kita membeli barang-barang itu secara dicicil, kredit, alias hutang yang harus dibayar, dan dilunasi.
Sungguh memprihatinkan, jika kita mempunyai barang itu sekadar untuk memuaskan nafsu konsumtif semata. Kita mengada-ada agar ada. Ben diarani demi gengsi. Padahal, kita mempunyai banyak kebutuhan yang lebih mendesak dan penting untuk didahulukan. Misal biaya sekolah, kontrak rumah, pengobatan, dan sebagainya.
Menuruti dan membelikan barang permintaan anak itu baik, asalkan disesuaikan kondisi keuangan, dan usia anak. Sehingga barang itu lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya.
Menuruti permintaan anak itu jauh lebih bermanfaat, jika kita juga tidak asal menuruti dan memanjakannya. Jangan karena asal memberi yang penting anak senang dan hepi, kita lepas tanggung jawab. Anak makin manja dan tidak mandiri, bahkan minus perhatian dan kasih sayang orangtua. Akibatnya, bisa suloyo dan menyulitkan diri sendiri.
Memberi kemudahan, apapun bentuknya itu baik, asalkan kita tetap mengontrol anak agar tidak salah arah, hingga melanggar etika, tata tertib, aturan, atau melakukan perbuatan tercela lainnya.
Alangkah jauh bermanfaat, jika kita memberi suatu barang pada anak itu dengan bijak. Maksudnya, kita memberi hadiah pada anak dengan suatu kompensasi. Misal, anak diajak membantu beberes rumah, nilai ranking di sekolah, prestasi dalam olahraga, dan seterusnya.
Dengan “Ayo kerja dulu, Le, Nduk…!” kita memotivasi anak. Bahwa untuk mencapai sukses, membeli barang yang diinginkan, atau berwisata ke manca negara itu dapat dilakukan, jika kita mempunyai uang sendiri. Caranya, kita harus bekerja keras, tekun, dan semangat pantang menyerah. Semoga Allah berkenan mewujudkan impian itu.
Budaya kerja keras itu seharusnya jadi acuan dan dasar kita untuk melangkah dan meneruskan cita-cita para pendiri bangsa ini. Para pahlawan itu telah membukakan gerbang kemerdekaan agar kita mengisinya rumah NKRI ini dengan semangat mandiri menuju kesejahteraan bangsa, Indonesia Jaya.
Ayo semangat kerja, Le, Nduk…!
(Mas Redjo)