Sunset Story oleh Belinda Gunawan
Selama empatpuluh tahun, Nani selalu nonton dengan Ardi. Ya, mulai dari kencan pertama di abad lalu. Ardi mau saja diajak nonton film-film kesukaan Nani, dari Falling in Love yang dibintangi Robert de Niro dan Meryl Streep, hingga AADC seri satu dan dua. Pernah, Ardi dan Nani hanya dua-duanya manusia lansia di antara para penonton remaja yang terisak-isak, menonton The Fault in Our Stars.
Sekarang Nani masuk Cinema XXI sendiri saja. Nontonnya pun siang, supaya sudah selamat pulang ke rumah ketika hari masih terang. Film Bumi Manusia bagi Nani adalah must-see karena bukunya dulu jadi kontroversi. Di depan loket dilihatnya, semua bangku masih belum berwarna. Nani dengan polos bertanya pada si Adek penjual tiket, “Kalau hanya satu orang, apakah filmnya tetap main?”
Aneh, kok tidak ada yang berminat, pikir Nani. Padahal bikin film susah, lho. Teringat dulu pernah bekerja sebagai kru film, ketika baru lulus kuliah, lalu menikah, punya anak satu, dua, hingga akhirnya “dirumahkan” karena keadaan, lalu jadi free lancer.
Masih ada banyak waktu sebelum film dimulai. Nani memang selalu berusaha datang tepat waktu, kepagian pun tidak apa-apa, apalagi sekarang tidak ada lagi yang lelet dan ditunggu. Untuk mengisi waktu ia memesan secangkir kopi, lalu mencari tempat duduk di salah satu meja yang tersedia. Semua ada isinya, walau hanya satu atau dua orang. Seorang gadis melambai padanya, “Di sini saja, Tante.”
Nani mendekat. Gadis itu masih muda, mungkin sebaya cucu sulungnya. Maka sambil duduk di seberangnya ia berkata, “Kamu boleh panggil aku Oma.”
“Sendiri, Oma?” tanya si cantik Aling.
“Iya. Nunggu ada yang diajak mah, film keburu ganti.”
“Oma nonton apa?”
“Bumi Manusia. Kamu?”
“Aku belum beli tiket. Nitip minumanku ya Oma, aku beli Bumi Manusia juga.”
“Cepat, nanti habis.” Nani tersenyum sendiri mendengar gurauannya yang tidak lucu. Paling-paling sekarang baru 5 tiket yang laku.
Tak lama kemudian Aling sudah balik. “Ih, Oma, aku sampai buru-buru, tahunya….”
Hahaha… gotcha, kata Nani dalam hati. “Kamu sendirian? Nggak nunggu… pacar?”
“Aku jomblo, Oma,” kata Aling. “Baru putus seminggu lalu.”
“Oooooh, sorry. Kamu pasti lagi sedih ya….”
“Ya sedikit. Tapi gapapa, Oma, life goes on.”
“Obladi oblada.”
“Apa itu, Oma?”
“Cuma lagu kuno, The Beatles. Obladi-oblada, life goes on… gitu.”
Aling tersenyum sopan, walau tidak tahu Nani ngomong apa. Lalu ia menunduk menyeruput minumannya.
“Kamu pinter menyikapi kehidupan, Ling,” kata Nani tiba-tiba. “Pacaran, putus, pacaran lagi, putus lagi, adalah seleksi alam sebelum kamu mendapat yang paling tepat.”
“Oma dulu gitu?”
“Ya iyalah.”
Ardi bukan lelaki paling hebat sedunia. Bukan yang paling keren, paling baik, paling ramah, paling penuh pengertian. Tapi yang pasti, ia hadir dalam hidup Nani pada saat dan sikon yang tepat. Ia sudah dipilihkan Yang Kuasa sebagai jodoh Nani, perempuan yang juga banyak kekurangannya.
Tanpa Ardi tidak ada tiga anak dan sederet cucu yang sekarang semuanya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Hmmm…tidak ada satu pun keturunannya yang tahu saat ini ia berada di sini. Nani tersenyum dalam hati. Buat apa bilang-bilang mereka? Nanti beginilah, begitulah….
“Pintu teater dua sudah dibuka.”
“Oma, yuk.” Aling mengulurkan tangan. Dua nenek-cucu-ketemu-gede itu masuk ruang teater, berbimbingan tangan. “Ntar aku duduk di sebelah Oma, ya.”
“Sip.”