Seide.id – Astaga! Tiba-tiba saya ingin sendiri. Menyepi. Sentimental?
O, tidak! Saya juga tidak sedang jatuh cinta. Kasmaran. Saya ingin sendiri, menata hati.
Saya tidak mau kesibukan sebagai aktivitas biasa sekadar ben diarani atau wow, padahal ubyang-ubyung itu tiada arti.
Apakah kau pernah sendiri untuk merefleksi diri? Seberapa sering? Apakah hal itu jadi suatu kebutuhan, kebiasaan, atau refleksi diri selagi ada masalah?
Sesungguhnya, hidup tanpa direfleksikan itu tidak layak dihidupi. Hidup ini jadi kehilangan makna dan tidak berarti.
Sesungguhnya, menata hati itu mengajak kita untuk mengenali diri sendiri, jati diri agar kita makin dekat dan akrab dengan Yang Ilahi dan sesama.
Menata diri agar hidup kita tidak salah arah untuk kembali kepada Allah, Sang Pencipta. Sebaliknya, hidup yang tidak direfleksikan itu bakal disesatkan si jahat
Hal yang baik itu semestinya jadi kebiasaan, kebutuhan, dan harus disiplin, sehingga kita tidak mudah dibius dan terlena oleh kemalasan, kenyamanan, dan lupa diri!
Dengan rajin merefleksi diri, saya ingin mengenali diri sendiri. Saya tidak mau salah langkah dan salah arah.
Begitu pula saat saya berkolaborasi dengan sesama untuk memaknai hidup ini. Saya mensyeringkan rahasia hidup mandiri dan ikhlas, agar kita tidak bergantung atau menggantungkan hidup ini pada sesama, kecuali hanya pada Allah yang disembah.
Tidak hanya itu, saya juga dengan senang hati menyediakan lahan pertanian untuk diolah, dikelola, dipanen, dan dinikmati bersama.
Ternyata untuk mengubah dan memperbaiki pola pikir itu susahnya nguadubilah.
Realita itu yang membuat saya jadi heran dan makin penasaran. Jika mereka mengaku sebagai petani, anehnya diajak bertani mereka ogah-ogahan. Padahal alat pertanian modern telah disediakan juga. Mereka menolak dengan sejuta alasan. Dan tidak mau bertani lagi.
Saya ingat kata-kata bijak, bahwa sesungguhnya tidak ada pengorbanan yang-sia-sia. Yang sia-sia itu jika orang itu tidak mau menanggapi, memaanfaatkan dengan baik untuk berubah dan menghasilkan buah.”
Hidup itu pilihan, tapi masa depan kita sendiri yang menentukan, dan atas berkat Allah.
Ketimbang lahan itu dibiarkan kosong, ditumbuhi semak belukar, dan mubazir. Lebih baik saya ambil alih dan memanfaatkannya sendiri.
Astaga! Ketika saya mengolah lahan itu sendiri, dada saya merasa longgar, plong, dan tubuh ini jadi ringan.
Hidup tanpa beban itu ikhlas.
(Mas Redjo)