Seide.id -Bayangkan Anda seorang Guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun dengan penuh dedikasi. Anda mengajar dengan sepenuh hati, mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Namun, tiba-tiba, kabar mengejutkan datang: Anda dipecat karena pelanggaran pengangkatan guru honorer oleh Kepala Sekolah.
Kasus ini bukan fiksi.
Kasus pemecatan 107 guru honorer di Jakarta pada awal tahun ajaran 2024/2025 menjadi contoh nyata dari pelanggaran pengangkatan guru honorer.
Pemecatan dilakukan karena guru-guru honorer tersebut diangkat tanpa rekomendasi dari Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta.
Kasus ini menuai kontroversi dan dikecam oleh berbagai pihak, termasuk DPR RI dan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Dan tentu berpotensi guru honorer di berbagai daerah di Indonesia mengalami nasib serupa. Karena mereka dipecat karena kepala sekolah telah mengangkat mereka secara tidak prosedural, tanpa mengikuti aturan yang berlaku.
Kemudian untuk di Jakarta terdapat potensi ancaman terhadap 4.000 orang guru honorer yang ada di satuan pendidikan di Jakarta saat ini, tidak ada satu pun guru honorer yang diangkat oleh Dinas Pendidikan, sehingga Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) tidak dapat diproses sesuai dengan ketentuan berlaku.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, per Januari 2024 terdapat 1,3 juta guru honorer yang masih aktif mengajar di sekolah negeri di seluruh Indonesia.
Namun, hanya 400.000 guru honorer yang memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang menjadi syarat utama untuk menjadi guru ASN (Aparatur Sipil Negara).
Maka dampaknya? Mutu pendidikan terancam menurun. Kekurangan guru kompeten dapat menyebabkan kualitas pembelajaran dan layanan pendidikan bagi siswa menurun.
Di sisi lain, nasib para guru honorer yang dipecat pun terombang-ambing. Mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan, serta dihantui kecemasan dan ketidakpastian tentang masa depan.
Di satu sisi terjadinya salah urus dalam pengangkatan guru honorer, juga membuat guru honorer yang kompeten dan memenuhi kualifikasi menjadi terpinggirkan karena kalah bersaing dengan mereka yang diangkat secara tidak prosedural oleh Kepala Sekolah.
Dan tentunya berdampak guru honorer yang kompeten harus menanggung beban kerja lebih berat akibat dari kekurangan guru yang berkualitas.
Maka tentu perlu pertajam sanksi yang diberikan kepada kepala sekolah negeri yang terbukti melakukan pelanggaran dalam pengangkatan guru honorer juga terhadap mutu pendidikan perlu dipertajam.
Termasuk sanksi pidana jika terbukti adanya penyalahgunaan dana BOS terkait honor guru selain tentunya sanksi administratif yang lebih tegas dan konsisten dapat memberikan efek jera dan mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Perlu dipertimbangkan penerapan pencabutan izin mengajar bagi kepala sekolah yang terbukti melakukan pelanggaran berulang untuk menjadi efek jera yang signifikan. Maupun publikasi nama kepala sekolah yang terbukti melakukan pelanggaran dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Maka perlunya memperkuat peran pengawas sekolah dalam memantau proses pengangkatan guru honorer dan penggunaan dana BOS. Juga perlu memberikan sosialisasi serta edukasi kepada kepala sekolah dan bendahara sekolah tentang tata kelola keuangan yang baik dan akuntabel.
Pemerintah juga perlu untuk mempertimbangkan relaksasi persyaratan NUPTK bagi guru honorer yang telah lama mengabdi dan memiliki kompetensi yang memadai.
Melaksanakan program peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan untuk membantu guru honorer memenuhi persyaratan NUPTK.
Demikian juga memberikan bantuan dana kepada guru honorer yang terdampak dipecat untuk membantu mereka mencari pekerjaan baru atau melanjutkan pendidikan.
Pelanggaran dalam pengangkatan guru honorer merupakan masalah serius yang harus segera diatasi. Penting untuk memastikan bahwa proses pengangkatan guru dilakukan dengan mengikuti aturan yang berlaku agar tercipta sistem pendidikan yang berkualitas dan adil.
Nasib para guru honorer yang kompeten dan memenuhi kualifikasi juga perlu diperhatikan dan dijamin agar mereka dapat memberikan kontribusi terbaik bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Oleh Jeannie Latumahina
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Partai Perindo
Memilih Pemimpin Daerah Yang Bebas dari Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak