SEPUR KLUTHUK MADIUN-PONOROGO Rencana Menghidupkan Legenda

Sepur Kluthuk

Oleh RAHAYU SANTOSO

Setiap kali melewati depan Pasar Besar Madiun, memori saya langsung kembali ke tahun 60-an. Sebuah kenangan yang tak pernah mati, tentang sepur kluthuk (kereta api jadul) jurusan Madiun-Ponorogo yang melintas di situ.

Saya sering naik, ketika diajak keluarga ke Umbul, sebuah tempat rekreasi di perbatasan Kabupaten Madiun dan Ponorogo. Kami sekeluarga biasa naik di depan Pasar Besar. Di situ memang merupakan shelter. Ada bangunan kecil dari kayu, seperti pos jaga ukuran 1,5 X 1,5 meter. Bangunan itu sebagai tempat penjualan karcis.

Di Madiun, kereta itu melintas tengah kota. Dari Stasiun Besar Madiun belok kanan terus melalui sepanjang Jalan Halmahera. Belok kanan lagi melalui Jalan Panglima Sudirman. Behenti di shelter depan Pasar besar untuk menaikkan penumpang, lanjut sampai Jalan Bogowonto melalui sepanjang Jalan HA Salim, sampai di Stasiun Sleko.

Baru  kemudian melanjutkan perjalanan menuju Ponorogo dengan pemberhentian di Kanigoro, Pagotan, Umbul, Mlilir Babadan dan Stasiun Ponorogo. Lanjut ke Slahung  sebagai tujuan akhir.

Untuk menyiapkan loko tua itu, sebelum berjalan membutuhkan waktu cukup lama. Sampai beberapa jam. Selain mengisi air ke tabung raksasa,  juga memanasi airnya hingga mendidih. Uap air  itulah yang digunakan sebagai penggerak sistem hidrolis untuk memutar roda.

Menurut Pak Pedi Haryanto, pensiunan masinis yang tinggal di depan rumah saya, kondisi di kokpit loko tua sangat panas. Tidak seperti lokomotif sekarang yang bermesin Diesel. Karena itu masinis loko tua selalu  membawa dua handuk kecil. Satu dikalungkan di leher, satunya dijadikan penutup kepala dan diikat, untuk mengurangi sengatan panas. ’’Jadi kalau masinis sering mengeluarkan kepalanya, itu bukan untuk melihat jalan. Tapi untuk cari angin,’’ guraunya.

Sepur Legendaris

Sepur kluthuk memang  legendaris. Benar-benar kereta tua.  Ditarik dengan loko B 5007 yang dioperasikan sejak awal abad 19. Bikinan pabrik Sharp Steward (Inggris). Generasi loko  berseri B 50 ini di Indonesia ada 14 buah. Kini tinggal satu disimpan di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah.

Berbahan bakar kayu atau batubara yang diangkut dengan satu gerbong khusus di belakang loko. Gerbong penumpangnya pun unik. Bangkunya memanjang dari ujung ke ujung. Berjajar tiga masing-masing dua  di samping dan satu di tengah. terbuat dari kayu jati.

Namun naik sepur kluthuk saat itu sudah merupakan pengalaman ‘’wah’’. Mengingat masih minimnya moda transportasi darat saat itu. Sehingga sepur kluthuk sangat berjasa. Baik untuk angkutan penumpang maupun  barang.

Akhirnya, sepur itu harus tergusur oleh  zaman. Tergilas dengan moda transportasi darat lainnya. Apalagi ditunjang jalan raya Madiun–Ponorogo sepanjang sekitar 30 km yang semakin mulus beraspal. Sepur kluthuk itu pun semakin terengah-engah melawan persaingan. Akhirnya 1982, dihentikan pengoperasiannya.

Wacana Reaktivasi

Akhir tahun 2020 lalu, muncul wacana  akan diaktifkannya kembali jalur KA Madiun Ponorogo. Meski sudah mati selama 38 tahun lamanya. Bahkan rel-nya pun sudah banyak yang beralih fungsi. Di Kota Madiun saja, rel di sepanjang jalan Halmahera sudah beralih fungsi, berdiri bangunan semi permanen. Bahkan ada yang permanen. Sedang di dalam kota sudah ditutup aspal untuk pelebaran jalan.

Untuk mengembalikan fungsinya seorang narasumber Titus tri Wibowo M.Si sangat yakin pemerintah bisa mewujudkannya. Pemerintah punya dana untuk bayar ganti untung kepada penghuni s KA,’’ katanya.

Rencana mengaktifkan kembali jalur kereta itu berawal dari penelitian yang dilakukan dosen Politeknik Perkeretaapian Indonesia (PPI) di Madiun,. Dan H. Maidi, Wali Kota Madiun pun menyambut dengan tangan terbuka. “Apabila objek wisata buatan di Kota Madiun jadi dan didukung rel kereta api serta SDA di sekitar Madiun Raya,  ini berarti akan semakin menarik minat banyak orang untuk berkunjung,” ujar Maidi dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD).

Direktur PPI Amirullah  pun menegaskan, di antaranya analisis reaktivasi jalur KA Madiun- Ponorogo- Slahung dilihat dari potensial demand. Cukup menjanjikan. Dijabarkan  permintaan kebutuhan transportasi penumpang tertinggi di Kota Madiun berada di Kecamatan Kartoharjo sebesar 22.594 sepeda motor per jam.

Sementara untuk tarikan perjalanan tertinggi di Kecamatan Ponorogo 52.265 motor/jam atau 104.530 orang/jam. Hal itu disebabkan karena tingginya jumlah populasi, jumlah kepemilikan kendaraan serta kuat tarik akibat banyaknya daerah perkantoran, daerah industri, serta sekolah di zona tersebut.

Penelitian itu  terkait prediksi moda shifting (perpindahan moda) terhadap angkutan penumpang kereta api sebagai implikasi reaktivasi jalur KA Madiun-Ponorogo.

Bila biaya transportasi menggunakan KA sama seperti biaya transportasi menggunakan motor, maka probabilitas atau kemungkinan penggunaan motor adalah 93 persen. Jika biaya transportasi menggunakan KA sama seperti biaya transportasi menggunakan mobil, maka probabilitas penggunaan mobil adalah 71 persen. Dan Jika biaya transportasi menggunakan KA sama seperti biaya transportasi menggunakan bus, maka probabilitas penggunaan KA adalah 93%.

Penelitian lain terkait analisis daya beli dan kemampuan membayar masyarakat terhadap rencana reaktivasi kereta api jalur ini.

Berdasarkan penghitungan diketahui nilai kemampuan membayar masyarakat atas kebutuhan transportasi sepanjang 57,5  km (Madiun – Ponorogo –Slahung) sebesar Rp 18.630. Di atas dari tarif ideal biaya akomodasi kereta api dengan jarak yang sama Rp 7.187.

“Diharapkan apabila tarif tersebut diterapkan masyarakat masih mampu membayar dan mau menggunakan moda kereta api. Jadi penelitian ini dapat menjadi dasar untuk studi lanjutan,”pungkasnya kepada wartawan.

Logis.  Itu logis kalau mengacu pada hasil hitungan di atas kertas. Namun tidak masuk akal menurut hitungan para pebisnis sebagai pengguna  transportasi.

Dodik juragan kelapa di Madiun menilai tidak efektif. Karena terkait dengan biaya tambahan bongkar muat dari dan sampai stasiun tujuan. Hingga terjadi biaya tinggi. ‘’Selain itu dengan angkutan jenis lain bisa terkirim sampai di tempat dan tentu lebih cepat,’’ kata alumnus ITN Malang ini.

Apalagi jalan raya sekarang beda dengan kondisi  sebelum tahun 80-an. Sepeda motor dan mobil  berseliweran di tengah kota. Maka keberadaan KA itu  yang sebagian lewat tengah kota diyakini akan membuat  semakin ruwet.

Pertanyaannya, siapa sih yang mau menunggu jadwal KA untuk jarak yang bisa ditempuh dengan motor, Ojol, dan lainnya?? Lagipula kalau tahun 1982 saja ditutup karena kalah bersaing dengan moda angkutan lain, apalagi sekarang ketika  semakin banyak jenis angkutan.

‘’Motor roda tiga sekarang ambil alih pengiriman barang dengan volume kecil. Tak perlu nunggu lama dan diantar jemput lagi. Lebih luwes karena bisa masuk gang, ’’ tambah Rudi, wiraswasta jebolan Unibraw.

Jadi penelitian gak berguna dong?

‘’Tetap berguna, paling tidak penelitian bisa menambah kredit point bagi penelitinya,’’ katanya sambil tertawa. *

Avatar photo

About Rahayu Santoso

Penulis, editor, studi di Akademi Wartawan Surabaya, tinggal di Madiun