(88) MEREKA BARU SADAR
“Ayo, ngaku!”
“Kamu yang harus ngaku!”
“Kamu yang menyembunyikan Cupu Manik Astagina!”
“Aku juga mencarinya, Monyet!!”
‘Kamu yang monyet!”
Mereka terus bertengkar. Dalam pertengkaran itu di antara mereka ada yang berteriak minta tolong.
“Aduh, Kakang Guarsa, tolonglah aku! Segeralah datang ke dalam telaga ini. Aku ada di dalam bahaya, Kakang Guarsa!?”
“Hai, tutup mulutmu!” Kata Guarsi, “Siapa Guarsa itu?!” “Ia adalah kakakku! Putra Ibu Windradi.”
“Kakakmu?” “Ya, kakakku.”
“Siapa nama ayahnya?!” “Resi Gotama!” “Kalau begitu siapa kamu?”
“Aku Raden Guarsi.”
“Raden Guarsi?’
“Ya, aku Raden Guarsi.”
“Kalau begitu kamu adikku sendiri. O, Guarsi, Guarsi adikku.” “Kamu siapa?”
“Aku Guarsa, kakakmu.”
“O, Kakang Guarsa. Kenapa wajah kita menjadi kera jelek seperti ini, Kakang?”
“Aku sendiri juga tidak tahu, Guarsi, Guarsi???!!”
Mereka saling berpelukan menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya yang seperti itu.
(89) MENCARI ANJANI
Raden kuarsa dan Raden kuarsi yang raut mukanya sudah tak lagi tampan karena telah berubah menjadi wajah kerang akhirnya teringat kembali dengan kakak perempuannya Dewi Anjani.
“Di mana kakak Anjani?” tanya Raden Guarsa pada Raden Guarsi, adiknya.
“Aku tidak tahu, Kakang?”
“Apakah engkau tahu?”
“Aku juga tidak tahu!”
“Jangan-jangan ia bersembunyi karena sudah menemukan Cupu Manik Astagina itu!’
“Bisa jadi begitu!”
“Lalu sebaiknya bagaimana?”
“Kita cari Kakang Mbok Anjani sampai ketemu.”
“Aku setuju!”
“Aku juga setuju!”
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mencari Dewi Anjani, kakak perempuan mereka sampai ketemu.
(90) DI BAWAH POHON CEMBELEK
“Kakang Guarsa, sudah hampir 3 hari lamanya kita mencari Kakang Mbok Anjani tetapi hasilnya nihil,” kata Raden Guarsa.
“Aku juga heran ke mana Kakang Mbok Anjani itu pergi.”
“Aku juga kurang tahu. Kita tidak boleh putus asa harus kita cari Kakang Mbok Anjani sampai ketemu.”
Mereka terus mengitari hutan yang lebat untuk mencari Dewi Anjani . Sementara kedua adiknya, Raden Guarsa dan Raden Guarsi mencarinya.
Dewi Anjani tengah duduk di bawah pohon cembelek hutan yang tidak jauh tempatnya dari Telaga Berubah Warna itu. Ia tampak sedang bersedih meratapi nasibnya.
“Kakang Guarsa, dengarlah suara ratapan dari bawah pohon cembelek hutan itu!”