Foto : Nikolay F.com/Pixabay
Itulah tekad saya untuk mendekati dan merebut hati WT, primadona di Kampung Buaran. Bahkan kecantikan WT telah dikenal seantero Kelurahan, karena ia membuka salon kecantikan.
Jadi maklum, untuk mendekati WT, apalagi untuk memacarinya itu saingannya seabrek. Dan sulitnya nguadhubilah.
Banyak cara saya gunakan untuk menaklukkan hati WT. Mulai kirim WA, menelepon, main ke rumah, hingga kirim makanan kesukaan. Tapi semua itu mental alias gagal total. Ternyata WT menganggap saya sebatas sebagai sahabat.
Selama belum ada janur kuning dan orang memperistri WT, saya pantang menyerah. Saya lalu mengunakan jurus witing tresna jalaran soko kulino. Cinta hadir karena terbiasa.
Intinya, saya mendekati WT lewat jalur orangtua dan saudaranya. Saya akrab dengan Bapaknya. Bahkan sesekali saya menemani beliau main catur.
Didasari tebal muka, saya pantang menyerah untuk memperistri WT. Bahkan, tanpa diminta saya bersedia jadi seterikaan untuk mengantar-jemput WT, ketika ia menerima job merias pengantin. Walaupun saya sekadar jadi sopirnya.
“Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.”
Pepatah itu terjadi, ketika saya dan WT terjebak macet. Saat pulang ke rumah WT, jalanan ambles karena hujan sepanjang siang. Sehingga tiba di rumah WT menjelang tengah malam.
Belum lama kami duduk di ruang tamu untuk minum teh hangat, tiba-tiba pintu rumah WT diketuk orang.
Ketika pintu rumah dibuka, astaga… ternyata maksud beberapa pemuda itu menggerebek kami. Lalu terjadi keributan kecil, sehingga orangtua WT ke luar dari kamar.
Saya dan WT berkilah, karena jalan ambles. Dan kami bersih. Tidak berbuat asusila. Tapi mereka tidak mau tahu. Bahkan argumen kedua orangtua WT juga tidak digubris oleh mereka.
Mereka bersikukuh untuk meneruskan hal itu pada Pak RT dan jajarannya agar kami segera menikah.
Dengan sangat menyesal saya meminta maaf pada WT dan kedua orangtuanya. Karena saya telah mencoreng nama baik keluarga.
“Sudahlah Nak, kami juga merepoti Anak, sehingga masalah jadi runyam seperti ini,” kata Bapak WT.
Sekali lagi saya memohon maaf saking menyesal pada Bapak WT dan Ibu, lalu sungkem untuk pamit.
“Maaf ya, WT…,” saya memegang tangan WT yang gemetar. Ia mengangguk pasrah.
Saya lalu minta pamit. Di jalan saya bertemu dengan para pemuda yang tadi menggerebek kami.
Mereka semua mengacungi jempol!