Hidup bermakna ibarat seteguk air yang dibagikan. Seteguk air tidak akan menghilangkan dahaga, namun dayanya mendorong harap seseorang untuk mendapatkan oase keteduhan.
Sepanjang perjalanan hidup sebagai pendidik, selalu saja ada peserta didik yang jika ditanya jawabnya “tidak tahu”. Jawaban “tidak tahu” mengindikasikan tidak terjadi perubahan dalam proses belajar. Tidak diperoleh makna baru. Dan fenomena seperti itu acap terjadi justru dalam diri mereka yang santun, rajin, disiplin, tekun, follow the rule. Memandang namun tak melihat, mendengar tapi tak mengerti. Hal yang sama dapat terjadi dalam perjalanan hidup seseorang. Berjalan tanpa makna.
Sokrates, seorang filsuf dan pendidik asal Yunani yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi, pernah mengatakan, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi”.
Hidup yang tak direfleksikan akan dangkal dan kering makna. Dalam arti yang sesungguhnya, refleksi adalah belajar dari apa yang sudah dilalui sebelumnya.
Orang yang dangkal adalah orang yang terkungkung hanya pada dirinya dan orang-orang terdekatnya. Ia tidak punya cita-cita dalam hidupnya. Ia hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sesaat, dari hari ke hari. Ia tidak tergerak pada gelisah orang lain dan pergulatan komunitas tempat ia hidup. Kedangkalan semacam ini hanya bisa dicegah, jika orang bisa terus melakukan refleksi atas hidupnya.
Dengan bersikap reflektif, kita akan makin bijak dalam menjalani hidup. Kita bisa belajar terus menerus dari apa yang sudah kita alami selama ini. Kita lalu bisa membagikan hal tersebut kepada orang lain yang membutuhkan. Karena banyak orang mengalami sesuatu, tetapi kurang atau tidak melakukan refleksi. Akibatnya, mereka tetap dangkal walaupun usia semakin tua, dan banyak pengalaman.
Seteguk air (tegur sapa, pelayanan, pendampingan, dukungan, pencerahan, dan kehadiran) tak akan menghilangkan dahaga, namun dayanya dapat mendorong niat seseorang untuk mendapatkan oase keteduhan (perjumpaan dengan Sumber Hidup). Maka tetap lakukanlah
Oleh: Jlitheng