Kita Ibarat Sebuah Kaset

Seide.id – Masing-masing dari kita ibaratnya sebuah kaset. Kemasannya bisa sama, mungkin lebih indah, tapi isinya belum tentu sama kalau belum diputar. Kalau belum kita dengar.

Kita baru tahu kaset itu indah merdu bermutu kalau sudah diputar. Bisa jadi kemasan kasetnya tidak meyakinkan, tapi isinya berkualitas. Suaranya merdu, ungkapannya bernas, dan pikirannya berkualitas.

Isi kaset seseorang baru kita tahu setelah orang berbicara. Setelah orang berpidato, memberi komentar, atau mengungkapkan pendapat. Di situ terbaca isi kepala, kepribadian, serta kehebatan, atau memang tergolong orang yang susah diajak bicara, selain cetek isi kepalanya, buruk daya nalarnya, cenderung gagal paham.

Saya mengamati setiap siapa saja di sepanjang perjalanan hidup saya, dan saya belajar dari situ. Semakin banyak ungkapan pikirannya, dalam tulisan, selama berbicara, dalam seminar, berpidato, bagaimana dan apa isi merespons WhatsApp, email, atau postingan, atau menuliskan sendiri postingannya di media sosial. Bukan saja ungkapan isi kepala, kita menangkap pula warna kepribadiannya, tingkat beretika dan beretiketnya.

Demikian pula halnya yang memberi komentar di FaceBook, misalnya. Saya membaca aneka ragam, bukan saja kualitas isi kepala banyak orang, melainkan juga sosok personalitasnya. Dari bagaimana mengomentari sebuah postingan, misalnya, ada yang tidak menukik pada hakikat postingannya.

Bukan puisinya yang dikomentari tapi ilustrasinya. Bukan hikmah isi tulisan postingannya, melainkan foto atau gambar yang mendampinginya. Bukan motif postingannya kenapa ditulis, melainkan seperti ingin menyaingi isi postingannya, ingin menimpali, dan bukan kritik atau mengajak berdiskusi. Bukan jarang ada yang bersikap mengajari ikan berenang. Bukan profesinya, bicara seolah berprofesi itu.

Yang merasa diri lebih tua, lebih senior, mungkin tanpa sadar sebagaimana guru dan ibu, merasa perlu memberi petuah untuk penulis postingan, atau memposisikan diri lebih atas. Dalam bahasa psikologi ini transactional analysis, selalu memposisikan diri lebih atas. Sering komentarnya tidak terkait dengan isi dan motif postingannya.

Saya banyak belajar dari membaca komentar, bahkan dari orang yang sebelumnya saya pikir orang berkualitas. Semakin berkomentar, semakin terbaca ceteknya isi kepala, dan seperti apa kepribadiannya. Termasuk tingkat beretika, dan beretiketnya. Itu karenanya semakin menyadarkan saya untuk semoga tidak menjadi seperti itu, dan berusaha menjadi lebih bijak, lebih matang, agar tidak menjadi serendah dan sekualitas itu.

Tidak semua nama besar otomatis orang besar. Ini sudah saya amati sejak masih awal bergaul dengan sosok-sosok yang sebelumnya saya kagumi. Ternyata nama besar saja tidak semua bicaranya bernas, dan wawasannya sesamudera. Ada yang selalu mendahulukan ego, tidak senang melihat orang lain senang, den senang melihat orang lain susah. Rasa iri-dengki terbaca juga dari isi komentar. Demikian pula mampir tidaknya seseorang teman, teman lama, di postingan juga bagian, ada kesan, ada tanda, bila ternyata ada yang dari ujuk-ujuk tanpa jelas sebabnya kelihatan sikap dislike seseorang.

Saya melihat banyak sekali teman baru maupun teman lama, yang ternyata toxic person, yang sebaiknya tidak perlu diakrabi, sekadar berteman say hello saja, karena mereka bukan orang berkualitas. Mungkin bagus isi kepalanya, bagus karyanya, tapi kalau mendengki, iri hati, itulah yang memancarkan gelombang yang bikin kita kurang nyaman dan bikin hidup tidak sehat. Gelombang tak sehat memantul dari toxic person.

Saya sendiri sadar tidak luput dari kelemahan, kekurangan, dan bukan orang sempurna. Namun saya sepenuhnya sadar akan hal itu, dan terus berusaha untuk menjadi yang tidak begitu dan berusaha menjadi yang terbaik. Terus belajar, kalau mengungkapkan sesuatu berusaha yang sebagus mungkin, kalau berbagi apa saja yang sepenuh setulus seikhlas mungkin, menjauh dari pikiran dan emosi negatif.

Tak kurang, sudah bersikap menuju yang berkebaikan saja pun tak urung ada saja orang-orang yang “aneh”. Bukan kecengengan kalau saya ungkapan ini, namun sekali lagi menjadi pembelajaran buat banyak orang, dan saya sendiri juga tidak menjadi orang beracun bagi sekelilingnya.

Saya, kita, tidak bisa mengatur orang lain harus bersikap bagaimana terhadap kita, karena kaset masing-masing orang, yang kita kenal baik sekalipun, tidak semua sama isinya. Yang tadinya bersuara merdu bisa saja berubah sember karena ideologis. Yang semula jernih isi kepalanya bisa menjadi keruh karena kepentingan. Yang tadinya suka, berubah tidak suka cuma lantaran iri-dengki. Demikian saya kira dinamika kehidupan.

Mimpi saya tetap, terus berusaha menjadi lebih baik, dan lebih bijak. Untuk itu perlu terus otokoreksi, dan memposisikan diri selalu menjadi murid di sepanjang hayat.

Terima kasih untuk begitu banyak kaset yang membuat saya lebih jernih berpikir, lebih elok bersikap, dan lebih tekun menjalani.

Note:
Perjalanan kehidupan kita: Krungu=Mendengar Weruh= Mengetahui Ngerti=Memahami Bisa=Menguasai Bener=Menemukan kebenaran hidup Temanja=Bermanfaat Adil=Memahami keadilan Wicaksana=bijak Waskita=Awas pengamatan Mlebu swarga=Masuk surga Ketemu Gusti Allah=Berjumpa Yang Maha.

Kamu mendengar belum tentu mengetahui
Kalaupun mengetahui belum tentu memahami
Sekalipun memahami belum tentu mampu
Meskipun mampu belum tentu benar
Kendari benar belum tentu bermanfaat
Kendati bermanfaat belum tentu adil
Kalaupun adil belum tentu bijak
Walau bijak belum tentu awas melihat ke depan
Kendati awas memandang ke depan belum tentu masuk surga
Meski masuk surga belum tentu berjumpa Yang Maha..

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

Ikuti: Bergelar Belum Tentu Pintar