Sedikit dari film bagus yang hadir di masa pandemi ini. Cerdas sekaligus menggemaskan. Dan sekali lagi, meski bukan film untuk semua orang, tapi ini film wajib tonton bagi penyuka biopic tak biasa tentang orang tak biasa. Foto : Dok. Hulu.
Oleh AYU SULISTYOWATI
SBELUM Stephen King menakuti dunia dengan kisah-kisah misterinya, Amerika pernah punya penulis misteri juara: Shirley Jackson. Karya dan sosoknya terkenal dari tahun 1940-an hingga sekarang. House of Haunted Hill yang berkali-kali diangkat ke layar lebar itu adalah salah satu novelnya. King yang menuliskan novel pertamanya, Carrie di tahun 1973/ 1974 sudah pasti salah satu pembaca Jackson.
Mereka bilang karya ke-dua (penulis) adalah yang berberat. Karya pertama bisa begitu gampang atau begitu susah. Tapi menuju karya ke-dua lebih susah, tersusah di antara karya-karya lainnya. Apalagi kalau karya pertama disebut-sebut masterpiece atau brilian, maka karya ke-dua akan menjadi pertaruhan karena standar kualitasnya seolah sudah terlanjur ‘ditetapkan’ sebelumnya. Lihatlah penulis klasik Harper Lee yang nyaris tak pernah menuliskan novelnya yang ke-dua setelah To King a Mockingbird.
Itulah yang terjadi pada Shirley Jackson. Setelah karya pertamanya The Road Through the Wall (1948) laris dan mendapat pujian, lalu cerpennya The Lottery muncul di majalah prestise The New Yorker jadi perbincangan penggila dan pengamat sastra, dua tahun kemudian Jackson ‘mati suri’. Ia malas bangkit dari tempat tidurnya, tak pernah keluar rumah, sibuk mencari inspirasi novel nomor duanya yang sialnya tak kunjung datang. Suaminya, Stanley Edgar Wyman, profesor sekaligus kritikus sastra mencoba mencarikan jalan keluar. Stanley yang merasa sangat pakar soal sastra ini sebenarnya sedikit banyak ingin mengatur istrinya, dan juga karyanya.
Maka, dengan dalih sudah memasuki semester baru di tempatnya mengajar, Bennington College, Vermont, Stanley mengundang calon profesor muda yang bisa menjadi asistennya mengajar di kampus. Tak lama datanglah pasangan muda Fred dan Rose Nemser. Stanley menjanjikan kamar, makan gratis bagi pasangan yang belum lama menikah itu. Dengan gayanya yang persuasif – tapi manipulatif – Stanley merayu agar Rose mau membantu bersih-bersih rumah, belanja, memasak dan menjaga Shirley yang sedang rapuh. Sementara ia tentu saja sibuk mengajar, membimbing Fred dan berpesta dengan penghuni kampus.
Stanley sendiri kebetulan memang hobi berpesta. Seperti yang digambarkan di awal film, profesor ini tengah menggelar pesta di rumahnya, dengan alasan agar Shirley mau bangkit dari tempat tidur. Tapi sang penulis hanya duduk di ruang baca sambil menceritakan bagaimana The Lottery bisa muncul di majalah New Yorker. Rose, yang mengagumi Shirley dan Lottery-nya mencoba mengajak penulis itu berkenalan ketika pesta sudah hampir kelar. Tapi Shirley menghardiknya. “Aku tak peduli kamu atau Betty, Debbie, Kathy… semua sama saja bagiku.” Lalu Shirley meninggalkan Rose yang kecewa.
Seperti hari-hari sebelumnya, Shirley yang depresi menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Ide tulisan berikutnya yang terinspirasi Paula Welden, mahasiswi yang hilang membuatnya frustasi lantaran merasa tak kunjung menemukan ‘jalan terang’. Hanya mentok di ide. Ia merasa lumpuh untuk menulis. Stanley bahkan harus menariknya dari tempat tidur dan merayunya agar mau bergabung makan malam dengan Fred dan Rose. Dengan kesal dan terpaksa Shirley turun dari kamarnya ke dapur di lantai bawah. Dan sepanjang makan malam ia mempermalukan Rose.
Meski sering kesal pada Shirley, tapi Rose yang tengah hamil muda itu masih menyimpan rasa penasaran sebagai penggemar. Apalagi, mau tak mau ia harus berada di rumah itu selama suaminya menyiapkan disertasi dan mengajar di kampus. Namun, lambat laun hubungan Shirley – Rose berubah, terutama setelah Shirley menugasi Rose untuk mencari jejak Paula Welden. Diam-diam Shirley membayangkan perempuan muda itu tokoh dalam novel yang ditulisnya, sosok yang menyerupai Paula. Shirley seperti menemukan ‘muse’-nya pada Rose.
Sementara itu, Stanley dan Fred yang sejak awal sudah cukup dekat, sibuk dengan dunia kampus mereka sendiri. Dua pria ini tak begitu sadar kalau dua wanita yang awalnya seperti tak akan bisa akrab itu malah benar-benar dekat. Shirley bahkan memperbolehkan Rose mengintip tulisannya. Waktu terus berjalan, semakin besar perut Rose, semakin dekat pula ia dengan Shirley. Berkat Rose pula, Shirley mau keluar rumah, malah ia memaksa agar diundang ke pesta kampus — sebuah ide yang ditolak Stanley. Tapi Shirley datang dengan Rose. Di sana ia hanya ingin melihat dengan siapa suaminya itu bercengkrama, lalu mengkonfrontir orang-orang yang dekat suaminya, dan minum sebanyak-banyaknya.
Beberapa bulan kemudian, pasangan Fred – Rose punya seorang bayi perempuan dan Fred telah jadi profesor muda. Namun mereka masih tetap tinggal di rumah Shirley. Sampai suatu ketika Shirley membuka rahasia yang selama ini selalu ia isyaratkan tapi tak pernah dimengerti Rose: dosen-dosen sastra selalu meniduri mahasiswi mereka.
Lalu, bila Stanley merasa sudah berhasil memberi istrinya inspirasi; Shirley sudah merampungkan menulis novel keduanya Hangsaman; dan Fred sudah jadi profesor, apa yang didapatkan Rose?
Selanjutnya , Psikodrama yang menawan