(Foto: WK)
Penulis Jlitheng
Sebenarnya, jika kita terawang dengan hati, ada banyak orang di sekitar kita yang memiliki kesanggupan melampaui sebuah janji di bibir. Dia adalah suami atau istri, orangtua, atau bahkan anak kita sendiri.
Contoh dalam pelayanan adalah panitia pencari dana yang tak lelah menggalang dana untuk menutupi biaya pembangunan gereja. Padahal, mereka tahu hanya satu kursi yang dapat diduduki ketika gereja sudah jadi, itupun kalau tidak digusur oleh yang merasa lebih berhak, walaupun ketika sedang diproses tak sekalipun cantik atau ganteng wajahnya menampakkan diri. I am very busy. Sorry.
Kata “ya” yang diucapkan panitia penggalang dana itu pasti sama atau bahkan di atas kata “ya” mbah putri kepada cucunya, sekali lagi cucunya.
Kata “ya” itu mempunyai bobot yang sama kuatnya ketika mengatakan “ya” kepada pribadi yang lebih kuat. Kerinduannya untuk membuat cucunya bahagia, yang mendorong mbah putri mampu mengambil keputusan yang melampaui usianya yang beberapa digit di atas angka 70, melampaui rasa memeng (enggan) karena jaraknya memang sangat jauh, melampaui rasa cemas, karena omicron membayangi tiap langkahnya.
Sama dengan banyak orang baik yang kita temui, mbah putri sanggup mengubah hambatan menjadi kesempatan untuk menciptakan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain yang dicintainya.
Kebahagiaan itu memang harus diciptakan, bukan hanya dicari dan diminta dari orang-orang yang baik. Apapun kondisi dan situasi yang kita hadapi jika jiwa kita mampu mengubahnya menjadi suatu kebahagiaan, maka kebahagiaan itu bisa terjadi.
Sebaliknya, dalam kondisi dan situasi bagus pun, jika jiwa kita tidak bahagia, maka kebahagiaan itu tidak akan terwujud di sanubari kita.
Seseorang baru bisa memancarkan energi kebahagiaan jika jiwanya sendiri bahagia!
Bagaimana mungkin kita sanggup memberi energi kebahagiaan, jika jiwa kita sendiri dalam keadaan tidak bahagia? Dibalut banyak macam rasa: wegah (malas), menuntut lebih dari hak, hitung-hitungan yang sering merantai jiwanya untuk rela berbagi.
Bagi diri kita, masa puasa inilah saatnya untuk menilai. Monggo, jika ingin menjadi sosok pencipta kebahagiaan, masih ada waktu. Modalnya hanya, “Ya, saya mau,” but show, don’t tell!
Salam sehat dan dengan sukacita berbagi cahaya.