Kancil (Tragulus javanicus) – Foto Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pusat di Bogor
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
DONGENG “Kancil yang Cerdik” sangat populer. Adik-adik di TK hingga SD Kelas 3 senang bila saya mendongengkan “Kancil dan Buaya”, “Kancil Memperdaya Harimau dan Ular Sanca” dan banyak lagi yang kesemuanya mengungkap cerdiknya hewan kecil yang Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jawa 1811-1815) menyebutnya Javan Mouse-Deer, dan nenek kita menyebutnya kancil (Tragulus javanicus).
Begitu populernya kecerdikan kancil, sampai-sampai sering dipadankan dengan anak-anak Indonesia yang cerdik. Ingat ‘kan, film Djenderal Kantjil yang diperankan Achmad Albar (produser Usmar Ismail, sutradara Nya’ Abbas Accup,1958) atau julukan Si Kancil yang diberikan kepada Adam Malik saat almarhum jadi Menteri Luar Negeri di zaman Pak Harto? Semua julukan itu berkait dengan hewan kancil.
Benarkah kancil itu cerdik? Saya tak percaya. Itu cuma dongeng, tak ada penjelasan ilmiahnya, ha…ha…ha…! Sampai kemudian di tahun 1976, sikap saya berobah 180 derajat. Saat itu saya adalah bagian dari pendiri dan aktivis Youth Scient Club/YSC, (cikal-bakal Kelompok Ilmiah Remaja di sekolah-sekolah menengah di Indonesia) yang berafiliasi ke Kementerian PPLH (kini lebur jadi KLH) pimpinan Menteri Emil Salim.
Berpusat di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, YSC merupakan payung dari berbagai kelompok peminat masalah-masalah lingkungan hidup, khususnya di Jakarta, Bogor dan Bandung. Aktivitas pertamanya, YSC menggelar field-trip di kawasan Hutan dan Pantai Carita di Pandeglang, Banten (saat itu masih masuk) Provinsi Jawa Barat, untuk penelitian menyangkut flora dan fauna serta kehidupan sosial masyarakat.
Enam puluh kelompok (masing-masing terdiri dari 4 – 6 orang) pelajar dan mahasiswa, ikut serta dalam penelitian-penelitian ilmiah, yang hasilnya akan dilaporkan ke PPLH dan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup pimpinan Erna Witoelar yang juga baru berdiri). Seorang dari peserta adalah Wina Armada SA, Kuasa Hukum seide.id yang saat itu masih Pelajar Kelas Satu di SMA Sumbangsih – Jakarta.
Saya tak hendak berkisah, bagaimana kami melakukan penelitian lapangan. Balik ke topik, saya ingin berkisah pertemuan langsung saya dengan kancil, yang sedang dipanggul seorang ‘abang-abang’, untuk dijual ke Pasar Labuan, sekitar 3 KM dari Carita. Kancil memang langka dan dilindungi undang-undang. Tapi di banyak tempat, kancil terbilang hama bagi petani. Karena itu ditangkap untuk dikonsumsi dagingnya.
Saya sudah beberapa kali melihat kancil melesat lari di rimbun hutan. Tapi inilah pertama kali bisa langsung memegang kepalanya. Ingin saya beli, dan bawa pulang ke rumah, biar bisa cerita pada adik-adik saya. “Ini lho, Dik, yang namanya kancil…!” Tapi saya tak cukup punya uang. Isi ransel, yang berharga cuma sepotong celana blue jeans merk Lee yang baru saya dapat dari Pasar Ular – Tanjung Priok. “Mau barter…?
Si Abang setuju, bahkan membantu saya membuat kerangkeng bambu yang rumpunnya tumbuh dekat situ. Kami tebang sebatang. Dipotong dan dibelah sesuai rancangan, lalu dijalin dan dirakit menjadi kerangkeng dengan sebuah pintu, untuk menceploskan kancil ke dalamnya. Ada banyak pohon Labu Kundur liar tumbuh di pantai, buat makanan kancil. Si Abang gembira, menenteng pulang celana jeans saya.
Pagi merebak. Saya terbangun bukan oleh debur ombak yang terdengar jelas dari dalam tenda, tapi oleh bau busuk yang menyengat hidung. Sejenak saya mengendus-endus mencari sumbernya, dan langsung ke sasaran: kerangkeng kancil di pojok tenda. Saya merangkak kepojok, menghampiri, dan langsung memekik tertahan ”Ya Tuhan…!” Saya dapati kancil itu tergeletak kaku di dasar kerangkeng…
Sempat saya angkat dan guncang-guncang itu kerangkeng. Tapi si kancil tetap kaku dan terbanting-banting di dalamnya. Saya membawanya mblobos ke luar tenda, sambil teriak-teriak bingung. “Kancil gue mati…! Kancil gue mati keracunan…!” Ya, pasti ini keracunan. Atau ada yang ngeracun? Sebab mana mungkin kancil bugar dadakan tewas, tubuhnya kaku, mata mendelik, lidah menjulur menguarkan bau busuk amis…?
Teman-teman di Tenda Panitia terbangun, juga dari tenda lain. Pasti karena teriakan dan gaduh yang saya timbulkan. Mereka ngerubung, bengong menyaksikan kancil tergeletak kaku di dasar kerangkeng, dan…busuk baunya. Teman-teman merangkul saya, berempati atas ‘musibah’ yang saya alami. Gontai, saya buka pintu kerangkeng. Saya tarik keluar tubuh kaku dingin itu, saya baringkan di pasir tak jauh dari tenda.
Saya balik masuk ke tenda, ambil golok buat menggali lubang kubur si kancil. Saat itu saya dengar beberapa teman berteriak berebutan: “Dia kabur…! Dia idup…! Kagak mati…! Dia lari…!” Saya langsung balik keluar tenda. Si kancil yang tadi kaku membangkai, tak lagi di pasir dimana tadi saya meletakkannya. “Mendadak dia hidup, bangkit, dan kabur kesemak sebelum kita-kita di sini sadar…!” seseorang menjelaskan.
Gemas bukan main. Si kancil (bisa jadi) cuma pura-pura mati… gumam saya dalam hati. Baru beberapa tahun kemudian, dari berkas tua ihwal Fauna & Flora Indonesia, saya faham bahwa kancil dilengkapi akal biologis. Pada situasi terancam, predator hendak memangsanya, dia bisa dengan cepat meng’kaku’kan tubuh, mata mendelik, lidah menjulur dan menguarkan bau bangkai, hingga predator tak jadi memangsanya.
Saya jadi ingat dongeng Kancil yang Cerdik. Tertangkap Pak Tani karena mencuri mentimun, lalu dikerangkeng untuk disembelih dijadikan gulai atau rendang. Tapi saat tiba waktunya, Pak Tani mendapatkan kancil mati dalam kerangkeng. Karena merasa tak lagi berguna, Pak Tani membuangnya, dan…dengan cara itu pula kancil cerdik itu menipu saya. Dia kabur membawa celana jeans kesayangan saya. “Masyaallah…!”
26/07/2021 Pk 22:32 Wib.