Seide.id – Mitos-mitos yang membuat para istri melekat pada stereotipe-stereotipe zaman baheula masih beredar.
Salah satunya, mitos yang menyebut bahwa perempuan hanya boleh berkutat di dapur, sumur, dan kasur.
Mitos itu telah menjebak sebagian pasangan suami-istri dalam pandangan keliru mengenai hubungan suami-istri, tak terkecuali hubungan intim mereka.
Istri harus “siap pakai”
Menurut mitos tersebut, bagi istri, menjalani hubungan seksual dengan suami semata-mata merupakan suatu keharusan atau kewajiban.
Perempuan harus “siap pakai”, tak boleh meminta dan mesti bersikap pasif.
Tak heran, secara struktural, perempuan atau istri lantas diposisikan sebagai warga kelas dua dalam urusan hubungan intim.
Berdasarkan mitos itu pula istri yang terkesan aktif dan agresif di ranjang lantas dihujani kecurigaan-kecurigaan.
“Lho, kok istriku sudah berpengalaman begitu? Jangan-jangan dia…,” dan seterusnya.
Buntut-buntutnya, apa lagi kalau bukan percekcokan.
Sementara itu, istri yang terjebak dalam mitos yang mengharuskannya manut kepada pria, pasti akan selalu bersedia melayani ajakan suaminya tanpa mempedulikan kondisinya sendiri.
“Biar saja deh. Yang penting suamiku puas dan enggak main di luaran,” begitu dalihnya.
Mulailah dengan hal-hal konkret
Di sisi lain, istri justru harus mengekang keinginan atau dorongan seksualnya.
Nah, kalau itu yang dijadikan kebiasaan, jangan salahkan jika kualitas hubungan suami-istri jadi dingin, tawar, serta jauh dari gambaran ideal.
Suami hanya akan menganggap istrinya sebagai ibu dari anak-anaknya dan bukan kekasih atau mitra sejajarnya. Dengan begitu, penghargaan terhadap pasangan pun berkurang.
Di lain pihak, istri pun bertahan dengan sikap dinginnya bak batang pohon pisang yang tak perlu memberi respons. Runyam kan?
Untuk mendapatkan jalan keluarnya, mulailah dengan hal-hal konkret. Salah satunya, kesediaan dari suami-istri untuk menyingkirkan mitos terkait.
Contohnya, dengan berusaha mewujudkan ide untuk menciptakan variasi dalam berhubungan seksual.
Selain itu, dengan mengajarkan anak memberi privacy waktu dan tempat kepada orangtua untuk berdua-duaan.
Tolak dengan halus
Lalu bagaimana jalan tengahnya agar istri tak merasa dianggap sebagai alat, sementara suami pun tak memperalat istri?
Harus ada kesadaran dari kedua belah pihak untuk meluruskan ketimpangan akibat mitos tersebut.
Istri, contohnya, bisa mengatakan, “Tapi, jangan sekarang ya, Pak. Aku capek banget nih. Gimana kalau besok pagi aja?”
Tentu saja, istri harus memegang janji tersebut. Artinya, besok pagi, apa pun adanya, jangan pernah cari-cari alasan untuk berkelit, tidak jadi berhubungan intim dengan suami.
Ingat, yang diperlukan suami-istri adalah kerja sama. Kalau suami sudah bersedia menunda, istri wajib menghargainya bukan?
Sebagai ganti hubungan seksual yang tertunda tadi, misalnya, tawarkan kehangatan lewat cumbuan ringan berupa pelukan.
Celakanya, buat suami, batasan semacam itu sering dirasa tak mungkin. Sentuhan-sentuhan ringan dari istri justru dianggap sebagai ajakan alias “undangan”.
Di lain pihak, buat istri, hal yang sama tak harus berakhir dengan persetubuhan. Nah, di sinilah diperlukan kesediaan untuk saling memahami.
Akibat dominasi mitos yang menyesatkan , pria yang sudah terbangkitkan gairahnya beranggapan, harus jalan terus dan pantang untuk ditolak.
Nah, anggapan yang salah semacam itulah yang mesti diluruskan. Artinya, istri boleh saja kok menolak. Asalkan, penolakan tadi dilakukan secara halus dan tidak membuat harga diòri suami tersinggung. (Puspayanti, kontributor)