Seide.id – Meraih gelar adalah satu hal. Demikian juga meraih banyak gelar, juga satu hal lain. Namun siapakah di balik pemilik gelar itu, adalah hal yang lain lagi. Selaiknyalah di mata publik mereka semua yang bergelar lebih dari hanya selembar kertas, supaya pemberian gelar dinilai betul otentik.
Meraih gelar, terlebih banyak gelar, sebuah prestasi. Itu status yang mulia. Bahwa di balik gelar dan banyak gelar itu selayaknya mengusung bobot pendidikan, mencerminkan pribadi yang luhur, dan nama besar kalau bukan orang besar, yang mestinya liniar dengan sebuah prestasi.
Gelar dinilai sebagai potret yang mewakili isi kepala, selain hati nurani, status yang dimuliakan. Namun kalau nyatanya tidak selalu demikian, sehingga makna gelar dan banyak gelar dan maha gelar kemudian berstatus tak lebih selembar kertas.
Ada berita rektor yang guru besar tidak mencerminkan profesinya untuk alasan penguasaan akademik yang diembannya. Orang menilai bahwa pendidikan seseorang itu adalah apa yang (masih) dilakukan. Juga apakah masih membuahkan karya.
Di seberang sana, ada orang-orang berpestasi tanpa satu gelar pun. Ivan Illich tahun 80-an mempertanyakan buat apa sekolah. Prestasi akademik tidak selalu liniar dengan kesuksesan. Kita mengenal quantum learning, ada tacit knowledge, ada banyak hal yang tidak bisa dipelajari di sekolah.
Lulusan S1 belum tentu langsung bisa prigel mengimplikasikan ilmu yang dipikul oleh gelarnya, atau malah tidak selalu terpakai, tanpa kegiatan magang. Kecuali ilmu teknik dan ilmu kedokteran yang bisa langsung diterapkan.
Apapun siapa kita, agama apapun kita, etnis apapun kita, dari keturunan apapun kita, di dunia hanya ada dua jenis manusia, yakni orang baik dan orang tidak baik.
Dari aspek apapun, menjadi orang baik sebagai sebuah conditio sino quanon, yang tak boleh ditawar lagi. Bahwa di mata religiusitas, spiritualitas, etika, etiket, adab sosial, dunia membutuhkan orang baik. Lebih dari itu, untuk sukses hidup, kata Einstein, selain perlu menjadi orang baik, perlu kerja keras atau perspiration.
Makna orang baik di sini meliputi empat kedisiplinan dalam hidup. Kedisiplinan yang diinternalisasikan oleh pendidikan sejak masa kanak-kanak, yakni menanamkan sikap: (1) menjunjung tinggi kebenaran (misal, sekolah tidak menyontek, kelak enggan jadi koruptor) – (2) menerima tanggung jawab (misal, bersikap ksastria)- (3) menunda kepuasan (prinsip hidup bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian)- (4) hidup seimbang dunia-akhirat (sikap tidak hanya memikirkan dunia, tidak pula hanya memikrikan akhirat).
Gelar atau tanpa gelar, menjadi orang baik dan ditambah hidup berdisiplin sebagaimana diformulasikan oleh tokoh psikiater J Scott, itu yang menjanjikan seseorang punya prospek meraih sukses hidup, mudah-mudahan seorang insan kamil.
Merekalah calon pasangan hidup pilihan, calon menantu pilihan, calon pemimpin pilihan, calon pejuang bangsa, dan calon unggulan apa pun sebagai warga bangsa.
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul