Cerpen Mas Redjo Foto : Pinterest
Dalam suatu sidang dengar pendapat di gedung Dewan Hutan Keramat yang disiarkan secara langsung …
Tiba-tiba listrik padam dan ruang sidang menjadi gelap gulita. Genset rusak, sehingga lampu tidak menyala secara otomatis.
Heboh!
Di sana sini terdengar teriakan, umpatan, dan makian kasar mengeluarkan anggota kebun binatang.
Orang-orang menyalakan lampu hp.
Tanpa dikomando, sidang bubar dan mereka berebut ke luar gedung yang menjadi remang-remang, panas & pengap.
Dan … ajaib, terjadi keanehan! Semua anggota badan yang terhormat itu raib entah bagaimana … Yang tampak hanya monyong alias bibirnya yang mengumpat dan sumpah serapah!
Kehebohan juga terjadi di luar gedung karena sidang yang disiarkan langsung itu yang tampak hanya monyong-monyong nyinyir di tv tanpa anggota tubuh yang lain! Dan anggota yang terhormat tidak menyadari keanehan itu!
Di sisi lain, beruntungnya, awak media yang biasa bertugas di lingkungan _Hutan Keramat_ hafal benar dengan bentuk bibir dari tuan-tuan yang terhormat itu. Mereka yang arogan, jualan agama, yang pura-pura membela wong cilik, tukang kritik tanpa solusi, protes, nyinyir, ngumpat, hingga yang senang w-o karena aspirasinya tidak ditanggapi.
Kehebohan dan keanehan terus belangsung dan menyebar.
Ternyata aliran listrik yang padam itu hanya di lingkungan gedung terhormat. Padahal saklar meteran, gardu, maupun generator pun diperiksa dan semua tidak bermasalah.
Sabotase? Ait, amit-amit.
Bos perusahaan listrik memberi jaminan siap dicopot jika hal itu kelalaian anak buahnya. Lalu?
Tiba-tiba terdengar alarm dari bank, hotel, tempat penyimpanan uang, perumahan, dan sebagainya. Bersahut-sahutan tiada henti mengusik petugas dinas keamanan. Di mana mana heboh.
Kekhawatiran dan ketakutan akan kerusuhan menggerogoti hati setiap orang. Terutama pada orang-orang yang menyimpan banyak uang, harta, surat berharga di bank atau rumah. Saluran telpon satelit menjadi super sibuk, bahkan _ngeheng_ karena orang-orang menelepon ke bank, kantor polisi, rumah, dan sebagainya untuk ngecek keamanan dan kejadian yang sebenarnya.
Semua aktivitas kota Hutan Keramat terganggu. Suasana kerja menjadi semakin tidak nyaman. Tanpa dikomando, satu persatu karyawan ke luar kantor, lalu ngeloyor pulang.
Breaking News! Konferensi pers di televisi dan radio tiada henti. Mengupas raibnya anggota tubuh tuan yang terhormat dan menyisakan hanya: bibir. Alarm-alarm menyalak di seluruh kantor perbankan dan dari rumah-rumah yang mempunyai sistem keamanan terpadu.
Lalu ada yang menghubungkan hal itu secara mistis, kota kena kutuk, yang mbaurekso marah, kurang sajen, dan sejenisnya.
Orang-orang bersicepat ke bank atau pulang rumah untuk mengecek keamanan uang, dokumen, dan barang-barang berharga yang lain.
Kehebohan super aneh kembali terjadi!
Di dalam brankas, bank, lemari … di antara tumpukan uang, dokumen atau surat-surat berharga itu ditemukan hati manusia! Bahkan di freezer maupun kulkas ditemukan onggokan hati segar!
Jadi …? Mereka yang berteriak dan berjuang untuk membela yang miskin, papa atau si anu demi ini & itu tidak lebih sekadar di mulut, karena ke manapun mereka berada tidak pernah membawa hatinya.
Mereka umumnya membangun pecitraan & sekadar berpura-pura membela & memperjuangkan wong cilik, padahal sejatinya ingin mengkangkangi negeri.
Bahkan bisa jadi, kita termasuk salah seorang di antara mereka yang sok merasa benar sendiri , sekadar pura-pura menyuarakan kebenaran, keadilan, kejujuran, atau pelayanan — padahal sebenarnya kita telah kehilangan rasa peduli, empati, dan berbelarasa pada sesama. Kita lupa, bahwa hati kita juga tersimpan entah di mana …?
LAINNYA