Foto : Esudroff/Pixabay
Bagai memasuki lorong kehidupan, dari tiada jadi ada, lalu kembali ke tiada. Itulah sesungguhnya siklus hidup kita.
Saat sel telur itu dibuahi, dihembusi roh Allah, kita sembunyi dalam rahim Ibu untuk menikmati kasih sayang-Nya.
Saat dihempaskan melihat realita dunia, kita terperangah, kaget, dan menangis dalam ketakberdayaan. Sehingga tubuh kita yang masih bayi mungil itu ditolong tangan-tangan yang berempati dan peduli pada kita.
Sesungguhnya, ketika kita lahir, lalu bertumbuh kembang jadi dewasa, hingga kita kembali pada Allah, kita tidak mampu melakukan semua itu sendirian. Kita bergantung pada sesama, alam, dan teristimewa pada Allah Yang Maha Memberi.
Coba amati, pelajari, dan hayati perjalanan hidup ini.
Buka mata hati agar kita jadi makin peka, jeli, dan paham untuk melihat, mendengar, serta merasakan mukjizat Allah yang sungguh luar biasa itu.
Sebaliknya, ketika melihat peristiwa keseharian ini sebagai hal biasa, berarti kita sombong dan egoistis. Kesombongan inilah sumber akar masalah yang membawa hidup kita kepada penderitaan.
Sadar diri dan pahami tujuan hidup ini, membawa kita jadi pribadi yang mandiri dan rendah hati.
Untuk diingat dan dipahami, ketika kecil, hidup kita bergantung pada orangtua. Begitu pula, saat kita jadi tua, renta, dan tidak berdaya, kita yang gantian bergantung pada anak-anak.
Jangan pernah menuntut, kita minta ganti diopeni anak sebagai balas budi, bhakti anak pada orangtua, dan seterusnya.
Jangan pernah pula mengungkit-ungkit ke anak, berapa besar biaya yang dikeluarkan orangtua untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga mengentaskan anak.
Sebagai orangtua, coba bertanya pada diri sendiri. Apa tujuan kita menikah?
Kita dikaruniai anak itu anugerah Allah yang harus disyukuri. Dan kita dituntut bertanggung jawab untuk membesarkan, membimbing, mendidik, mengarahkan, dan mengentaskan anak agar jadi pribadi yang baik dan berguna bagi sesama.
Perilaku hidup keseharian kita bakal jadi panutan anak. Sehingga kita dituntut untuk berhati-hati dalam bertutur kata, bertindak, dan bersikap.
Sekiranya, anak-anak berhasil meneladani perilaku baik dan sukses dalam hidupnya, kita juga tidak berhak untuk menuntut balik bhakti mereka kepada kita.
Sekalipun kita sukses mengajar anak untuk menghormati orangtua. Tapi, ketika kita menuntut pada anak untuk balas budi berarti kita menjalani hidup ini dengan tidak ikhlas. Hal ini yang jadi beban hidup, sehingga hati ini tersiksa, dan kita menderita.
Hidup ikhlas seikhlasnya itu, ketika kita berani melepas semua yang kita miliki ini tanpa merasa kehilangan.
“Dari tiada jadi ada, lalu kembali ke tiada.”
Sejatinya hidup ini untuk memberi, sebagaimana kita meneladani sifat Allah yang murah hati.