Simalakama, Pembangkangan Masyarakat sebagai Produsen Sampah

Sampah di DIY

Pengelolaan sampah di DIY terus dibebankan pada masyarakat. Jika melihat sampah menumpuk, masyarakat disalahkan karena tak mampu mengelola sampah secara mandiri. Padahal, masyarakat sudah melakukan upaya pengelolaan sampah di lingkungan mereka dengan aktifnya bank sampah di berbagai kawasan.


OLEH YUDAH PRAKOSO R

PENUTUPAN Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan menghadirkan kebingungan bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Setelah beroperasi selama 28 tahun (1995-2023), TPA terbesar di DIY ini harus ditutup sementara pada pertengahan tahun 2023 yang berujung pada penutupan permanen pada 1 Mei 2024.

Semenjak penutupan sementara hingga kini, gejolak di masyarakat terus mencuat untuk mengkritisi pengelolaan sampah di area DIY. Keluhan di masyarakat juga beragam; mengeluh karena sampah tak kunjung diangkut, munculnya titik-titik pembuangan sampah di ruang publik, hingga pencemaran udara di DIY akibat dari bau tidak sedap.

Media massa dan media sosial merekam keluhan masyarakat. Reaksi ini sebagai upaya menekan pemerintah untuk melakukan aksi nyata pengelolaan sampah yang seharusnya berkelanjutan. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah DIY ialah desentralisasi sampah. Pengelolaan sampah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota masing-masing yakni Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.

Pada 17 Mei 2024 lalu, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bawuran diresmikan, TPST yang digadang-gadang terbesar di DIY yang lokasinya berdampingan dengan TPA Piyungan. Pemkab Bantul juga unjuk diri dengan teknologi yang akan digunakan di TPST tersebut. TPST ini diproyeksikan mengelola sampah dari Kota Yogyakarta dan Bantul.

Pengelolaan sampah di DIY terus dibebankan pada masyarakat. Jika melihat sampah menumpuk, masyarakat disalahkan karena tak mampu mengelola sampah secara mandiri. Padahal, masyarakat sudah melakukan upaya pengelolaan sampah di lingkungan mereka dengan aktifnya bank sampah di berbagai kawasan.

Dari temuan analisis Big Data Lembaga Penelitian Pares Yogyakarta pada diskusi terbatas Rabu, 5 Mei 2024 di Fisipol UGM, perlu didorong titik temu pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan komunitas pengelolaan sampah sebagai penggerak di akar rumput. Analisis Big Data Pares sebagai representasi suara masyarakat diharapkan dapat menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas di akar rumput. Luaran yang diharapkanadalah adanya sinergi antara pemerintah dengan komunitas supaya masalah sampah di DIY dapat terselesaikan.

Simalakama Sampah

Sejak TPA Piyungan ditutup, masayarakat Yogyakarta khususnya mulai sadar dan mengelola sampahnya sendiri. Berbagai organisasi baik formal maupun non formal mulai mengadaan sosialisasi soal sampah dan pengelolaanya secara mandiri, seperti pembuatan biopori, lubang sampah di halaman rumah (jugangan), cara membakar sampah dan caranya menjadikan sampah organik menjadi pupuk dan material lain yang bisa digunakan.

Ketika masyarakat sebagai produsen sampah telah melakukan pemilahan sampahnya secara mandiri, hal yang menyedihkan terjadi saat sampah-sampah yang sudah dipiah-pihan sesuai jenisnya itu disatukan lagi ketika diangkut oleh truk-truk dan gerobak-gerobak pengangkut sampah untuk dibawa ke tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Masalah sampah masih berlanjut hingga hari ini. Penumpukan sampah yang terjadi di beberapa sudut Yogyakarta adalah imbas dari sempat ditutupnya Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Piyungan. Walaupun beberapa tempat sudah dibersihkan, tetapi ada beberapa tempat yang sampahnya masih menggunung.

Sebagai kota pariwisata, masalah ini merupakan masalah yang berdampak buruk bagi kota pariwisata. Namun demikian, bagaimana kita dapat memahami masalah ini dapat dibantu oleh studi terdahulu terkait dengan pengelolaan sampah. Pemahaman yang luas, akan membantu setiap pihak untuk dapat mengambil peran yang tepat. Khususnya pemerintah, yang paling banyak disorot atas masalah sampah ini.

Pengelolaan sampah secara jangka panjang memerlukan pemahaman terkait dengan lingkaran hidup atau proses sampah itu sendiri. Untuk memahami masalah pengelolaan sampah ini. Sa;ah satu hal yang kita temui dalam masalah samah adalah lingkungan masyarakat merupakan faktor penting dalam pengelolaan sampah. Rumah tangga dengan tingkat melek lingkungan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam program pengurangan limbah dan daur ulang. Ini menunjukkan bahwa kampanye pendidikan dan peningkatan kesadaran dapat memainkan peran penting dalam mempromosikan praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sesungguhyarumah tangga yang berpartisipasi dalam program pemisahan sumber lebih mungkin untuk mendaur ulang dan menghasilkan lebih sedikit limbah secara keseluruhan.

Namun, hal ini mengidentifikasi beberapa tantangan untuk pengelolaan sampah. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya layanan pengumpulan dan pembuangan limbah yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya investasi dalam infrastruktur pengumpulan dan pembuangan sampah untuk memenuhi permintaan layanan pengelolaan sampah yang terus meningkat. Sebagai dampak dari kurangnya infrastruktur adalah masalah membuang sampah sembarangan oleh masyarakat.

Dari masalah ini dapat dipahami bahwa, perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan dimungkinkan juga karena kurangnya infrasturktur dan akses masyarakat terhadap kebersihan sampah. Masalah ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk program yang nyata dalam upaya pencegahan dan pembersihan sampah yang lebih efektif, untuk mempromosikan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Faktor biaya layanan juga merupakan hal yang menjadi masalah dalam pengelolaan sampah. Retribusi sampah seharusnya merupakan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan layanan atau infrastruktur pengelolaan sampah. Namun demikian, dimungkinkan bahwa persepsi tentang “kelayakan” pengumpulan sampah dan layanan pembersihan tidak semata-mata ditentukan oleh biaya layanan.

Ada beberapa yang dapat dipahami untuk pengelolaan sampah dalam jangka panjang. Pertama, ada kebutuhan untuk pendidikan yang lebih efektif dan kampanye peningkatan kesadaran untuk mempromosikan literasi lingkungan masyarakat. Rumah tangga dengan tingkat melek lingkungan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam program pengurangan limbah dan daur ulang.

Oleh karena itu, pemerintah daerah dan otoritas pengelolaan sampah harus berinvestasi dalam program pendidikan yang menargetkan rumah tangga, sekolah, dan bisnis untuk mempromosikan praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Program-program ini harus fokus pada manfaat pengurangan limbah dan daur ulang, serta dampak negatif dari limbah terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Pemerintah daerah harus berinvestasi dalam meningkatkan infrastruktur pengumpulan dan pembuangan sampah untuk memenuhi permintaan layanan pengelolaan sampah yang terus meningkat. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa pengurangan tempat pembuangan sampah sementara merupakan pengurangan terhadap infrasturktur pengelolaan sampah, yang jika tidak ada alternatifnya, maka masyarakat akan membuang sampah sembarangan.

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus berinvestasi dalam memodernisasi sistem pengumpulan dan pembuangan sampah, termasuk penggunaan teknologi baru seperti pabrik limbah-ke-energi dan sistem pengelolaan limbah yang lebih baik. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas jasa pengelolaan sampah tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan baru di sektor pengelolaan sampah.

Ada kebutuhan untuk program pencegahan dan pembersihan sampah yang lebih efektif untuk mempromosikan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus berinvestasi dalam program pencegahan dan pembersihan sampah yang menargetkan ruang publik seperti taman, jalan, dan pantai. Program-program ini harus mencakup kampanye kesadaran publik, peningkatan penegakan hukum membuang sampah sembarangan, dan penyediaan lebih banyak tempat sampah di ruang publik.

Pemerintah daerah harus mempromosikan program pemisahan sumber untuk mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan tingkat daur ulang. Rumah tangga yang berpartisipasi dalam program pemisahan sumber lebih mungkin untuk mendaur ulang dan menghasilkan lebih sedikit limbah secara keseluruhan.

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memfasilitasi dalam promosi program pemisahan sumber, termasuk penyediaan tempat sampah terpisah untuk berbagai jenis sampah seperti daur ulang, sisa makanan, dan limbah berbahaya. Namun langkah tersebut juga perlu diimbangi dengan langkah proses yang difasilitasi sampai pada akhir daur hidup sampah. ***

Penulis adalah jurnalis senior. Tinggal di Yogyakarta.

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.