Ada lagi kebijakan yang kendati tampaknya agak aneh, tapi mereka wajib melaksanakannya. Yakni, sebelum memproduksi hoax, mereka diwajibkan mengumpulkan data dan fakta obyektif yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Karena hanya dengan data dan fakta yang kuatlah mereka baru bisa melakukan manipulasi sedemikian rupa. Sesuai kebutuhan dan perkembangan situasi. Sehingga, berangkat dari akurasi data dan fakta itulah mereka bisa semakin leluasa dan kian produktif menciptakan hoax.
“Jangan lupa, hoax itu sudah menjadi candu bagi masyarakat,” kata Aline.
“Hoax yang enak dibaca, dan perlu,” kata Ditya.
“To Hoax or Not To Hoax,” kata Rudi.
Berkat kebijakan dan kreativitas itulah, situs anonim atau situs abal-abal yang mereka ternak-kan setiap saat dibutuhkan, segera dikenal publik sebagai “situs hoax yang sangat bisa dipercaya.” Terutama, karena situs atau hoax mereka sudah punya “trade-mark” sendiri, yang berbeda dengan para pembuat hoax lainnya. Ada kode-kode tersendiri yang mereka pasang di setiap unggahan mereka.
Karena tingginya kebutuhan produksi hoax, Aline akhirnya menyusun sendiri kriteria atau persyaratan membuat “hoax yang baik dan benar.” Resep itu disebutnya sebagai “Sembilan Bahan Kebutuhan Hoax” yang disingkatnya sebagai “Sembahoax.”
Pertama, harus ada sasaran yang jelas. Kedua, harus ada data dan fakta yang akurat. Ketiga, harus ada gambar, foto, dan audio-visual pendukung. Keempat, harus ringkas, singkat dan padat. Kelima, harus menarik dan menggelitik. Keenam, harus mudah diingat. Ketujuh harus gampang diviralkan. Kedelapan, harus dirancang dengan desain yang kekinian. Kesembilan, harus ada yang membayar.
Puas atas hasil hoax-nya tentang Faisal, Aline kemudian menutup laptopnya. Ia memasukkan komputer lipat itu ke dalam ranselnya. Setelah membereskan meja kerjanya, ia kemudian bangkit menuju pintu keluar-masuk kantornya. Sesaat ia menebarkan pandangan ke arah teman-teman kerjanya, yang berada di dalam sebuah ruangan kaca kedap suara, namun tampak gelap dari luar.
Kendati gelap, dan seluruh dinding ruangan itu dicat dalam warna gelap, setiap keluar dari sana, Aline selalu melambaikan tangan kepada rekan-rekan kerjanya. Walau ia tak bisa melihat ke arah dalam, karena menggunakan pelapis kaca satu arah, mereka yang ada di ruangan bisa melihat sosok Aline secara jelas dan terang benderang. Aline selalu melakukan hal itu untuk sekadar berbasa-basi, walau ia tak pernah tahu apa reaksi para rekan kerjanya. Paling tidak untuk sekejap, ia merasa manusiawi.
Teman-teman kerja Aline itu latarbelakang ekonominya hampir sama dengan Aline. Mereka mau bekerja di situ sebagai buzzer atau pembuat hoax semata karena uang. Nyaris tidak ada yang punya ideologi atau cita-cita muluk. Kata keadilan dan kebenaran adalah lelucon buat mereka.
Bisa saja, sejatinya mereka masih punya rasa iba kepada para korban hoax mereka, namun perasaan itu sudah mereka matikan sejak dini. Toh, korban hoax mereka juga bukan orang baik-baik. Umumnya adalah koruptor atau mereka yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya. Baik sebagai abdi negara maupun sebagai pengusaha swasta yang licik dan rakus. Dan, seumur hidup, mungkin mereka tidak akan pernah berurusan langsung, baik di dunia maya maupun dalam kehidupan nyata. Baik dengan pemesan maupun dengan korban hoax mereka.