Keluar dari ruang kantornya, Aline harus menaiki tangga dua lantai ke atas. Ruang kerjanya itu berada di basement sebuah gedung perkantoran, yang disamarkan sedemikian rupa, menjadi seperti tempat karaoke.
Sebelum mencapai tempat parkir, Aline harus melewati beberapa lorong berliku. Semua dalam kegelapan permanen. Bahkan ketika siang hari. Hanya ada deretan lampu kecil di lantai, yang masing-masing diatur dalam jarak satu meter, sebagai penunjuk pintu ke arah luar atau arah masuk. Seperti lampu darurat di lantai pesawat terbang atau di gedung bioskop. Sehingga, tak banyak orang tahu ihwal keberadaan kantor itu. Yang membedakan dengan lorong lainnya, kendati gelap, aliran udara terasa mengalir cukup kencang dan sejuk di sepanjang lorong itu. Sehingga, mereka yang lalu lalang di situ tak akan berkeringat atau kehabisan oksigen. Meskipun demikian, tak pernah ada orang luar yang sampai tersesat ke situ. Sebab, dari luar, bangunan itu seperti gedung yang tak pernah rampung dibangun dan tak pernah dihuni. Seperti rumah hantu. Atau tepatnya, dikondisikan supaya menyerupai rumah hantu.
Sampai di parkiran di lantai dasar, ia menuju sebuah pintu yang warnanya tersamar dengan warna dinding. Tak ada gagang pintu. Hanya ada sebuah tombol kecil di satu sisi dengan setitik lampu bercahaya. Serta sebuah kamera mini. Aline pun mendekatkan kedua bola matanya ke arah titik itu. Lalu sebuah pintu bergeser ke kiri. Aline masuk ke ruangan parkir yang cukup luas dan tiba-tiba benderang. Di ruang parkir itu hanya ada sepeda motor pelbagai ukuran. Tidak ada kendaraan roda tiga atau roda empat.
Setelah menunggang motor besar bewarna hitam, Aline pun mengenakan helmnya. Tapi baru saja terpasang di kepalanya, ia melepaskan lagi helm itu. Barusan ia seperti melihat sesuatu. Ia pun memeriksa bagian dalam helm itu. Di tengah-tengahnya terlihat sebuah tulisan dan tandatangan dengan spidol permanen. “Love: Jaka.”
Aline terdiam dan terperangah. Jaka? “J”? Jaka Suhana. “JS”?
Aline mengenakan helmnya kembali. Dengan jemarinya ia menekan tombol di luar helm sebelum mengatupkan kaca depannya. Lalu ia melakukan pairing, mensinkronisasikan layar helm dengan layar telepon genggamnya, yang terhubung melalui aplikasi “SambungKu.” Dengan begitu, ia bisa menerima telepon dan membaca semua pesan yang muncul di layar teleponnya, yang dipantulkan sebagai cermin atau mirror ke kaca depan helmnya. Lalu ia memasukkan telepon genggamnya ke balik kantong jaketnya.
Aline menghidupkan mesin motor, lalu keluar dari garasi yang membuka dan menutup secara otomatis. Beberapa saat kemudian ia sudah memacu sepeda motornya di jalanan.
“Siang TemanKu…!” kata Aline membuka sebuah aplikasi, melalui mikrofon dan loudspeaker yang terpasang di dalam helm khususnya.
“Siang, Aline. Apa yang bisa saya bantu?” kata TemanKu yang suaranya terdengar di kiri dan kanan telinganya.
“Tolong sambungkan ke pengirim pesan bernama JS.”
“Mohon tunggu sebentar…! Maaf Aline…! Saat ini JS tidak bisa dihubungi!”
“Kenapa?”
“JS tidak punya nomer telepon aktif. Tapi bisa menerima pesan.”